BANDUNG ~ Berbagai informasi yang beredar di media banyak yang menyebutkan bahwa tahun 2023 kita memasuki apa yang disebut dengan resesi ekonomi. Para ekonom tentu sudah mafhum dengan terminologi tersebut, tetapi banyak masyarakat awam tentu menimbulkan tanda tanya, seberapa berat dampak yang ditimbulkan bagi perekonomian masyarakat ? Terutama dampak bagi sektor – sektor tertentu, misalnya sektor properti. Para pengusaha properti tentu harus menganalisis dengan cermat dampak dari prediksi resesi ekonomi tersebut terhadap prospek bisnisnya. Dengan demikian mereka bisa mengambil langkah – langkah penting untuk mengantisipasinya, terutama meminimalisir kemungkinan resiko kerugian yang bisa terjadi, serta menentukan langkah – langkah agar tetap profit di masa resesi “, ujar Dewan Pakar Asosiasi Tenaga Teknik Indonesia (ASTTI) Dede Farhan Aulawi di Bandung, Kamis (1/12).
Hal tersebut ia sampaikan dalam obrolan santai di kediamannya yang tidak jauh dari pintu tol Pasteur Bandung. Dia juga selama ini dikenal sebagai pakar Construction Safety (K3 Konstruksi) yang banyak bergelut di sektor konstruksi, baik bangunan, jembatan, bendungan dan jalan. Oleh karenanya, tidak sedikit para pengusaha konstruksi yang sering meminta pendapatnya mengenai isu – isu penting yang dimungkinkan akan berdampak pada sektor konstruksi, termasuk didalamnya para pengusaha properti.
Menurutnya, berbagai informasi terkait resesi ekonomi 2023 akibat tekanan inflasi global ini tentu membuat tidak ‘nyaman’ masyarakat, termasuk para pengusaha properti. Secara umum program pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi ini sebenarnya sudah berangsur membaik sehingga sektor properti di Indonesia juga sudah mengarah ke kondisi normal. Namun dengan adanya informasi resesi global yang berkembang akan membuat kontraksi ekonomi tertekan dan beberapa negara tampaknya akan mengalami kesulitan. Namun bagi Indonesia menurut banyak pakar dampaknya tidak akan terlalu besar sehingga prospek properti di Indonesia diprediksi relatif normal.
Terkait hal tersebut, Dede juga menjelaskan bahwa bisnis properti di Indonesia tampaknya akan tetap prospektif selama diimbangi dengan dukungan regulasi dari pemerintah, misalnya melalui kebijakan insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) bagi pengusaha properti. Jadi kebijakan pajak yang ditanggung oleh pemerintah itu diharapkan dapat diperpanjang, mengikuti kebijakan Loan to Value / Financing to Value (LTV/FTV) untuk kredit dan pembiayaan properti yang diperpanjang sampai Desember 2023.
Sebagaimana diketahui bahwa Bank Indonesia melanjutkan kebijakan Down Payment atau Uang Muka 0 Persen itu untuk semua jenis properti dan otomotif di tahun 2023. Hal ini sebagai upaya untuk terus memperkuat bauran kebijakan demi menjaga stabilitas dan momentum pemulihan ekonomi nasional.
Lebih lanjut Dede juga menerangkan bahwa sektor properti adalah sektor usaha yang memberikan multiplayer efek yang sangat besar terhadap perekonomian di Indonesia. Jadi kalau melihat resesi yang terjadi di negara eropa adalah akibat inflasi yang tinggi. Sementara di Indonesia 75 % ditopang ekonomi lokal, dan dari luar negerinya hanya 20 persen saja. Dengan demikian sektor properti, khususnya untuk segmen rumah subsidi itu tidak akan berdampak signifikan di tahun 2023 karena memang fundamental ekonomi cukup kuat, walaupun nilai ekspor kemungkinan akan mengalami penurunan. Pertumbuhan ekonomi tetap cenderung stabil di sekitar angka 5% per tahunnya. Apalagi kebutuhan masyarakat akan rumah pertama merupakan suatu real demand di Indonesia, dengan jumlah kebutuhan sekitar 12 juta rumah. Sementara secara umum rata-rata pembangunan rumah baru masih di kisaran 500 ribu sampai dengan 800 ribu unit rumah per-tahun.
Kemudian Dede juga mengatakan bahwa tantangan industri properti di 2023 adalah inflasi dan kenaikan suku bunga. Dua hal tersebut sebenarnya merupakan tantangan ekonomi di seluruh dunia. Inflasi telah melaju tinggi di Amerika, misalnya, mencapai level tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Pihak the Federal Reserve telah secara agresif menaikkan suku bunganya untuk memerangi laju inflasi tinggi ini, dan sejauh ini belum berhasil. Sementara itu, tingkat inflasi di Indonesia per September 2022 tercatat sebesar 5,95% (yoy), merupakan level tertinggi dalam sekitar 7 tahun terakhir.
Sementara itu, Bank Indonesia pada Oktober yang lalu telah menaikkan suku bunga acuannya BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 bps atau 0,5% menjadi 4,75%. BI sudah menaikkan suku bunga acuan dalam 3 bulan beruntun sejak Agustus 2022. Kenaikan suku bunga acuan BI sepanjang 2022 mencapai 1,25% dari level 3,5%, yang merupakan level terendah sepanjang sejarah dan sudah bertahan dalam tempo 18 bulan. Ini akan berdampak kepada kenaikan suku bunga KPR tentunya. Dengan demikian tampaknya akan terjadi kenaikan harga properti karena diprediksi akan terjadi kenaikan bahan – bahan bangunan. Jadi permintaan properti perumahan secara umum masih akan kuat, namun ada sedikit pelambatan sehubungan dengan kenaikan harga bangunan dan suku bunga KPR.
“ Jadi dengan memperhatikan beberapa parameter yang ada, dan kuatnya daya tahan ekonomi Indonesia maka bisnis dan industri properti di tahun 2023 diprediksi akan tetap prospektif. Bagi masyarakat kondisi ini menjadi timing yang tepat untuk membeli sebelum terjadi kenaikan harga lagi. Bagi investor / developer merupakan waktu yang baik karena bisa memanfaatkan sejumlah program subsidi Pemerintah untuk mendukung pemulihan ekonomi yang berdampak kepada penyediaan hunian bagi masyarakat “, pungkas Dede mengakhiri obrolan. (harir*)