JAKARTA – Belakangan ini beredar ramai pemberitaan yang bersifat tendensius dan negatif tentang Natalia Rusli. Salah satunya dapat dibaca dalam artikel yang ditayangkan di salah satu media, yang konon terverivikasi dewan pers, dengan judul “Dugaan Penipuan, Polres Jakbar Diminta Tangkap Eks Pengacara Korban Indosurya”. Pada artikel yang hanya mengutip atau mengarang cerita dari satu sumber tertentu itu, Natalia Rusli dikabarkan telah melakukan penipuan dan penggelapan dana korban Indosurya Simpan Pinjam.
Terkait dengan hal tersebut, Advokat Natalia Rusli, S.H. memberikan klarifikasinya berbentuk pernyataan pers yang dikirimkan kepada jaringan media se-nusantara. Hal ini sangat penting, tidak hanya sebagai pemberian hak jawab atas pemberitaan bohong alias hoax yang telah beredar selama ini, tapi juga sebagai pencerahan kepada publik agar cerdas mencermati pemberitaan sepihak yang saat ini begitu mudah disebarkan oleh media-media tanpa melalui konfirmasi kepada pihak yang diberitakan.
“Saya perlu memberikan hak jawab atas pemberitaan yang menyudutkan saya dan Polri tersebut. Tapi lebih penting daripada itu, saya ingin memberikan pencerahan kepada publik agar tidak termakan isu dan informasi yang hanya mengambil sumber dari pihak tertentu saja, sementara orang yang diberitakan tidak diminta keterangannya. Ini berbahaya sekali bagi pencerdasan masyarakat, akhirnya yang terjadi adalah informasi hoax dan fitnah sana-sini yang dicekoki kepada publik,” ujar advokat wanita yang selalu tampil rapi dan trendy itu, Sabtu, 24 September 2022.
Kasus ini bermula, jelas Natalia Rusli, saat seorang warga bernama Verawati Sanjaya memberikan surat kuasa khusus kepada Master Trust Law Firm pimpinan Natalia Rusli. Penerima kuasa adalah dirinya sendiri, Advokat Natalia Rusli, S.H.; Advokat Bryan Roberto Mahulae, S.H.; dan Advokat Dimas Rezaa Andhika Putra, S.H. Surat Kuasa Khusus tertanggal 16 April 2020 yang diberikan oleh Verawati Sanjaya itu adalah untuk membuat laporan polisi ke Kepolisian Daerah Metro Jaya terkait dugaan perbuatan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 372 dan 378 KUHPidana; Pasal 3, 4, 5 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU); dan Tindak Pidana Perbankan (TIPIBANK), yang diduga dilakukan oleh Indosurya Simpan Pinjam dengan total nilai Rp 1.000.000.000,- (Satu Miliar Rupiah).
Selanjutnya, tanggal 30 Juni 2020, Verawati Sanjaya melakukan pembayaran Operasional Fee atau biaya pelaksanaan pekerjaan sebesar Rp 45.000.000,- yang jumlahnya merupakan akumulasi dengan suami Verawari Sanjaya, yaitu Ronny Sumenep. “Dana lawyer fee itu dikirim melalui transfer ke rekening saya, namun untuk atas nama Verawati Sanjaya sendiri hanya Rp. 15 juta,” ungkap Natalia kepada media ini.
Terkait honorarium advokat, lanjutnya, telah diatur di dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yakni pada Pasal 21 ayat (1) yang mengatur tentang advokat berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang telah diberikan kepada kliennya. “Pada ayat (2) disebutkan bahwa besarnya honorarium atas jasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak,” jelas Natalia Rusli.
Pada tanggal 16 Juli 2020, Verawati Sanjaya telah dimintai klarifikasi atau keterangannya di Mabes Polri sebagai saksi korban dan pelapor dalam kasus Koperasi Indosurya Simpan Pinjam. Saat itu korban Verawati Sanjaya didampingi oleh Advokat Dimas Rezza Andhika Putra, S.H. “Dalam hal ini, penerima kuasa telah melakukan tugas dan tanggung jawab untuk mendampingi pemberi kuasa dalam hal pemeriksaan di Mabes Polri secara baik dan patut,” tutur Natalia Rusli menegaskan.
Walaupun menunggu cukup lama, namun pada tanggal 17 Januari 2022 Natalia Rusli mendapatkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan atau SP2HP dari Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri terkait Laporan Polisi terhadap Indosurya. Dalam surat itu disebutkan bahwa sudah dilakukan penetapan tersangka terkait kasus tersebut, yakni pimpinan Indosurya berinisial HI, dan sudah ditahan di Mabes Polri.
Peristiwa selanjutnya, demikian Natalia Rusli, tiba-tiba pada tanggal 30 Juli 2021 kliennya Verawati Sanjaya membuat Laporan Polisi No: LP/B/3677/VII/2021/SPKT/POLDA METRO JAYA terhadap dirinya. Laporan ke Polda Metro Jaya ini kemudian dilimpahkan ke Polres Jakarta Barat.
“Tuduhannya sangat serius, pelapor mengatakan saya diduga melakukan pidana penipuan dan atau penggelapan, sebagaimana yang dimaksud Pasal 378 dan atau 372 KUHPidana, atas nama terlapor, Natalia Rusli. Nilai kerugiannya Rp. 15 juta,” bebernya.
Sebulan setelah pembuatan LP oleh Verawati Sanjaya, tepatnya pada tanggal 31 Agustus 2021, Natalia Rusli mengirimkan pesan WhatsApp kepada penyidik Harda Polres Jakarta Barat atas nama Brigadir Ibnu Aqil. Inti pesan WhatsApp-nya adalah menginformasikan kepada penyidik bahwa dirinya adalah seorang lawyer, sehingga Natalia Rusli mempertanyakan kepada penyidik apakah pelapor sudah pernah melakukan aduan ke organisasi advokat tempat Natalia Rusli bernaung terkait kode etik advokat, yang mana dalam hal ini pelapor adalah klien dari Natalia Rusli sebelum adanya laporan polisi tersebut.
“Namun Penyidik membalas ‘kode etik gimana bu?’,” kata Natalia Rusli menirukan balasan WA penyidik, Ibnu Aqil.
Merespon jawaban penyidik yang terlihat tidak mengerti aturan kepengacaraan itu, Advokat Natalia Rusli langsung menjelaskan tentang kedudukan advokat yang tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, pada saat menjalankan tugas dan profesinya berdasarkan surat kuasa sesuai dengan penjelasan pasal 5 ayat (1) UU Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat. “Tapi setelah itu, si penyidik Polres Jakarta Barat tidak membalas atau merespon pesan WhatsApp saya tersebut,” ungkapnya.
Proses terus berlanjut, pada tanggal 7 Oktober 2021, Polres Jakarta Barat mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang ditujukan kepada Natalia Rusli. “Tentu saja saya terkejut dikarenakan hal itu sangat tidak wajar dan terkesan adanya indikasi diskriminasi terhadap advokat, yang mana pada saat menerima transferan dana Rp. 15 juta itu, saya bertindak sebagai kuasa hukum pelapor Verawati Sanjaya. Oleh sebab itu, saya menilai apa yang dilakukan oleh penyidik Polres Jakarta Barat atas nama AKP Diaman Saragih, S.H., M.H. dan Penyidik Brigadir Ibnu Aqil, S.H. yang bertugas di Unit Harda Polres Metro Jakarta Barat merupakan tindakan yang ceroboh dan premature,” tegas Natalia Rusli menyesalkan.
Pada tanggal 15 Maret 2022 Polres Jakarta Barat mengirimkan Surat Penetapan Status Tersangka kepada Natalia Rusli, dengan nomor surat: S.Tap/38/III/2022/SatReskrim/Resto Jakbar. Dalam surat tersebut ditegaskan bahwa yang bersangkutan dapat dilakukan upaya paksa dan pemeriksaan sebagai tersangka.
“Sebagai kelanjutan kasus ini, pada Selasa, 7 Juni 2022, dilaksanakan gelar perkara khusus terhadap laporan polisi No: LP/B/3677/VII/2021/SPKT/POLDA METRO JAYA tanggal 30 Juli 2021 dengan pelapor Verawati Sanjaya. Acara ini berlangsung di Ruang Gelar Perkara Rowassidik Bareskrim Polri, Gedung Awaloedin Djamin Lt.10, dipimpin oleh Penyidik Utama Rowassidik, KBP Drs. Sulistiono. Hadir juga dalam acara gelar perkara khusus itu, para pemangku fungsi dari Itwasum, Divpropam, Penyidik Utama Rowassidik, Kanit Krimsus Polres Metro Tangerang Kota, Wakasatreskrim Polres Metro Jakbar, dan Ahli Pidana yaitu KBP (Pur) Athif Ali. M. Dai, serta pihak pelapor dan saya sendiri sebagai terlapor,” kata Natalia Rusli menjelaskan panjang lebar.
Selanjutnya, pada tanggal 30 Juni 2022 Natalia Rusli menerima Surat Pemberitahuan Perkembangan Dumas (SP3D) dengan nomor surat: B/6319/VI/RES.7.7/2022/Bareskrim. Adapun isi dari surat tersebut menjelaskan terkait hasil rekomendasi gelar perkara khusus yaitu: “Berdasarkan fakta hukum yang ditemukan dalam gelar perkara khusus dan alat bukti yang ada bahwa terhadap Laporan Polisi No: LP/B/3677/VII/2021/SPKT/POLDA METRO JAYA tanggal 30 Juli 2021 dengan pelapor Verawati Sanjaya; bahwa penetapan tersangka sdri. Natalia Rusli, S.H. sebagaimana dimaksud dalam Surat Penetapan Tersangka Nomor: S.Tap/38/III/2022/Sat Reskrim/Resto Jakbar, tanggal 15 Maret 2022, terlalu terburu-buru (premature) karena pengumpulan alat bukti yang didukung barang bukti belum maksimal”.
Selain itu, pada saat gelar perkara khusus berlangsung, Ahli Pidana dari Bareskrim Polri yakni KBP (Purn) Athif Ali. M. Dai menyatakan bahwa dalam kasus yang dilaporkan Verawati Sanjaya, Natalia Rusli bertindak mewakili klien-nya, yakni Verawati Sanjaya. “Sdri. Natalia Rusli, S.H. adalah seorang Advokat dan atau Konsultan Hukum. bertindak atas nama dan untuk mewakili kliennya, dalam hal ini ibu Verawati Sanjaya, dimana fakta yang telah disampaikan dalam gelar perkara ini, Sdri. Natalia Rusli telah melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan etikad baik berdasarkan Surat Kuasa tersebut, yang mana dapat saya sampaikan ini bukanlah suatu perbuatan tindak pidana, dan mengutip Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 654K/Pid/1996 tanggal 10 Maret 1998 bahwa penerima kuasa tidak dapat diminta pertanggungjawaban pidana, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 006/PUU-II/2004 yang diputus tanggal 8 Desember 2004, bahwa Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dan tidak mempunyai kekuatan mengikat,” demikian Natalia Rusli mengutip pernyataan Ahli Pidana Athif Ali M. Dai.
Menghadapi kasus yang membelitnya, Natalia Rusli juga melayangkan surat pengaduan ke Bidpropam Polda Metro Jaya dengan teradu para penyidik Polres Jakarta Barat yang menangani kasus tersebut. Hasilnya, Kabidpropam menerbitkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan Propam (SP2HP2), tertanggal 17 Mei 2022 dan dikirimkan ke pengadu Natalia Rusli.
“Adapun hasil dari aduan saya yang dijelaskan dalam surat SP2HP2 itu, yaitu ‘Penyidik dalam menangani Laporan Polisi No: LP/B/3677/VII/2021/SPKT/POLDA METRO JAYA tanggal 30 Juli 2021 dengan pelapor Verawati Sanjaya telah melakukan penyelidikan dan penyidikan, namun dalam menangani perkara dimaksud Penyidik Unit Harda Satreskrim Polres Metro Jakarta Barat patut diduga telah melakukan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri’,” ungkapnya mengutip isi SP2HP2.
Walau demikian, persoalan tidak serta-merta menuju titik penyelesaian perkaranya. Polres Jakarta Barat terkesan mengabaikan perintah dan petunjuk dari hasil gelar perkara khusus di Mabes Polri, yang pada poin (h) yaitu: “memberikan kesempatan keadilan restorative (restorative justice) kepada para pihak”.
“Faktanya tidak pernah ada restorative justice yang dilakukan setelah gelar perkara khusus di Mabes Polri oleh Polres Jakarta Barat. Malah sebaliknya, Polres Jakarta Barat memaksakan untuk melimpahkan berkas perkara tersebut ke Kejaksaan Negeri Jakarta Barat. Hal ini sangat terlihat secara jelas dan nyata betapa perkara tersebut dipaksakan untuk menjerat dan mengkriminalisasi saya sebagai advokat dan seorang ibu yang memiliki 5 orang anak,” protes Natalia Rusli kecewa terhadap kinerja Polres Jakarta Barat terkait kasus ini.
Penyelesaian kasus melalui restoratif justice urung dilakukan diduga karena pelapor enggan mencabut laporannya. Kabar yang beredar, Verawati Sanjaya melalui rekannya, Hendry, meminta tebusan Rp. 6 miliar ke Natalia Rusli jika ingin damai dan laporannya dicabut. Alasannya, karena pihak Verawati Sanjaya telah mengeluarkan banyak dana untuk para oknum di kepolisian dan kejaksaan agar terlapor dapat dijadikan tersangka.
“Permintaan tersebut saya tolak mentah-mentah. Ini modus pemerasan. Bagaimana mungkin saya ditersangkakan melakukan penipuan dan penggelapan atas lawyer fee Rp. 15 juta yang menjadi hak saya sebagai konsultan hukum klien saya yang melaporkan saya itu? Pekerjaan saya juga sudah saya laksanakan dan berhasil dengan ditetapkan dan ditahannya pimpinan Indosurya. Kesalahan saya dimana?” tanya Natalia Rusli menyesalkan perilaku oknum mantan Kasatreskrim Polres Jakarta Barat yang ngotot agar kasus ini dilanjutkan.
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan, Kejaksaan Negeri Jakarta Barat tertanggal 14 September 2022, mengungkapkan bahwa pihak Kejari Jakbar sudah kali ketiga mengembalikan berkas perkara kasus yang menjerat Natalia Rulsi ke penyidik Polres Metro Jakarta Barat (P-19 ketiga kali – red). Berdasarkan kenyataan itu, maka kasus tersebut semestinya dihentikan, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang menyatakan: “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum tersangka atau keluarganya”; dan ayat (3) yang menyatakan: “Dalam hal penghentian tersebut pada ayat (2) dilakukan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf (b), pemberitahuan mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum”.
Berdasarkan kronologis dan uraian-uraian di atas, sudah sepatutnya dugaan tindak pidana yang disangkakan terhadap Advokat Natalia Rusli, S.H., yaitu penipuan dan atau penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 dan 372 KUHPidana harus segera diselesaikan dengan penerbitan Surat Penghentian Penyelidikan Perkara (SP3), karena sangat tidak memenuhi unsur. Antara terlapor Advokat Natalia Rusli, S.H. dan pelapor Verawati Sanjaya memiliki hubungan hukum yakni kontrak kerjasama sebagai Konsultan Hukum dan Klien; dan Natalia Rusli telah melakukan pekerjaannya sebagai konsultan hukum sebagaimana mestinya dan dengan etikad baik.
Hingga berita ini naik tayang, pihak Verawati Sanjaya belum memberikan tanggapannya. Pesan WhatsApp yang dikirimkan redaksi belum direspon sama sekali.
Di tempat terpisah, alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, yang mendapat informasi terkait kasus ini berkomentar bahwa sebaiknya segenap aparat penegak hukum kembali dibekali dengan moralitas yang cukup agar dapat melaksanakan tugasnya menegakkan hukum tanpa niat untuk memperjual-belikan hukum dan peraturan yang ada. “Selama aparat hukum di negeri ini menjadi law merchant (pedagang hukum – red), bermoral rendah, dan penggemar hidup hedon, selama itu pula bangsa ini akan terlilit masalah berkepanjangan tanpa solusi, dan akhirnya hancur berkeping-keping,” tegas lulusan pasca sarjana bidang Global Ethics dan Birmingham University, England, itu.