Cimanggu, Cilacap – Praktik ilegal penggunaan lahan hutan tanpa izin kembali terbongkar! Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Banyumas Barat terpaksa menghentikan paksa operasi perusahaan pemenang tender proyek Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citanduy di Tempat Penimbunan Kayu (TPK) Cimanggu, Majenang.
Dalih pembangunan, perusahaan ini justru mencaplok lahan hutan secara ilegal demi kelancaran bisnisnya!
Arogansi Berbalut Proyek Pemerintah
Ini bukan sekadar kelalaian administrasi, melainkan bentuk arogansi tak tahu malu dari perusahaan yang berani mengabaikan undang-undang demi keuntungan sesaat.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 7 Tahun 2021 jelas mengamanatkan bahwa setiap inci lahan hutan yang digunakan harus mengantongi izin resmi.
Namun, perusahaan ini, yang sejatinya ditugaskan membangun infrastruktur, justru menodai hutan negara sebagai akses pabrik batching plant dan gudang uditch beton mereka.
Konfirmasi Kepala Bagian Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH) Majenang adalah bukti tak terbantahkan: kegiatan ini belum mengantongi izin sehelai pun! Klaim pernah mengajukan permohonan yang kemudian tak ditindaklanjuti adalah alibi basi yang hanya menunjukkan niat busuk untuk menghindari prosedur yang sah.
Hutan, yang seharusnya menjadi paru-paru dunia dan aset rakyat, kini diobrak-abrik demi ambisi korporasi.
Rakyat Muak, Penegak Hukum Lamban?
Gelombang kemarahan tak hanya datang dari internal kehutanan. Ormas Gibas dan aktivis Cilacap yang geram langsung melayangkan protes keras.
Sekretaris Gibas Cilacap, Arif Darmawan, lantang menyuarakan, “Hutan ini milik negara, milik rakyat bukan milik perusahaan pemenang tender!” Ini adalah tamparan keras bagi siapapun yang berani merampas hak milik publik.
Upaya konfirmasi juga dilakukan kepada Asper (Asisten Perhutani) wilayah Majenang, Pak Win. Melalui sambungan telepon WhatsApp, Pak Win menuturkan, “Saya masih baru, Pak. Jadi, karena pekerjaan tersebut sudah berlangsung lama, saya belum mengetahui yang sebenarnya.”
Meskipun KPH Banyumas Barat akhirnya bertindak dengan inspeksi lapangan yang dipimpin Waka KPH Andi Henu Susanto, pertanyaan besar mengemuka:
Mengapa pelanggaran mencolok ini bisa berlangsung begitu lama tanpa tindakan tegas? Apakah ada pembiaran sistematis atau kelemahan pengawasan yang membuat para penjajah hutan ini merasa aman dan nyaman?
Sanksi Tegas atau Lahan Hutan Terus Diperkosa?
Penghentian sementara ini hanyalah secuil langkah kecil.
Yang dibutuhkan adalah sanksi tegas dan tanpa kompromi bagi perusahaan yang berani melangkahi hukum demi keuntungan pribadi.
Bukan hanya izin yang harus dipenuhi, tetapi juga pertanggungjawaban pidana jika terbukti ada kerusakan lingkungan dan kerugian negara.
Kasus ini harus menjadi peringatan keras bagi seluruh kontraktor dan korporasi: jangan pernah berani memperkosa hutan negara demi proyek atau bisnis Anda! Rakyat menuntut keadilan, dan hutan menuntut perlindungan.
Jika tidak, praktik-praktik ilegal semacam ini akan terus merajalela, mengikis habis kekayaan alam Indonesia, seolah hukum hanya pajangan semata.
Red”Tg