Kuningan– Gubernur Jawa Barat ‘Dedi Mulyadi’ atau yang akrab disapa Kang Dedi, sepertinya tidak konsisten dalam mengeluarkan kebijakan yang dia turunkan kepada Bupati dan Wali kota se Jawa Barat tentang penataan PKL apalagi menggangu estetika Kota.
Ironi kebijakan publik terpampang jelas di Taman Kota Kuningan. Di satu sisi, Pemerintah Kabupaten Kuningan dengan tegas melarang Pedagang Kaki Lima (PKL) berjualan di area utama, mengusir mereka ke sudut belakang Taman Kota. Dalihnya mulia, ingin menjaga ketertiban, kenyamanan, dan estetika perkotaan.
Sebuah narasi yang seolah mengedepankan wajah kota yang rapi dan indah, namun menyimpan persoalan mendalam. Namun, estetika yang dijaga ini ternyata beraroma diskriminasi. Disaat pedagang kecil harus bersembunyi di belakang, pengusaha mainan motor listrik justru leluasa beroperasi di jantung Taman Kota, tanpa beban retribusi sepeser pun.
Menurut salah seorang pengusaha motor listrik, ia tidak menerima teguran dari pihak berwenang karena operasionalnya yang tidak menetap atau selalu berpindah-pindah. Dalih ini, tentu saja, semakin membuat para PKL meradang.
“Ini kan aneh dan bikin kita pedagang kecil cemburu dong, masa kebijakannya seperti itu?” keluh beberapa PKL dengan nada getir. Pertanyaan ini bukan sekadar cemburu, melainkan jeritan ketidakadilan. Mengapa ada dua standar perlakuan yang begitu mencolok di bawah payung aturan yang sama?, “ungkap pedagang lain nya, (24/07/2025).
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) Toni dan Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) H. Ade hanya bisa berlindung di balik Peraturan Bupati (Perbup). Penjelasan sumir ini justru menegaskan bahwa Perbup tersebut disinyalir memiliki celah diskriminatif atau bahkan sengaja direkayasa untuk mengakomodasi kepentingan tertentu.
“Apakah Perbup ini benar-benar disusun demi kemaslahatan seluruh warga, ataukah ia hanya menjadi alat legitimasi bagi segelintir elite yang mampu membayar atau memiliki koneksi?, ” kata salah satu warga, yang merasa korban diskriminatif Satpol PP.
Situasi di Taman Kota Kuningan bukan sekadar masalah penataan, melainkan manifestasi kebijakan yang abai terhadap asas keadilan sosial. Ketika pemerintah mengedepankan “estetika” dengan mengorbankan mata pencarian rakyat kecil, sementara di saat bersamaan membuka karpet merah bagi pengusaha tertentu dengan alasan “tidak menetap,” maka yang terjadi adalah kesenjangan sosial yang semakin menganga.
Kang Dedi Mulyadi bahkan di “seret seret” dalam kondisi ini, karena sikap Pemerintah Kabupaten Kuningan tidak hanya gagal dalam penataan, tetapi juga gagal dalam menjunjung tinggi prinsip keadilan dan keberpihakan kepada rakyatnya sendiri. Ini adalah kritik keras terhadap tata kelola pemerintahan yang diduga cacat moral dan substansi.
Publisher -Red