Beberapa waktu lalu masyarakat dikejutkan oleh kejadian yang sungguh mengenaskan, di mana seorang penceramah agama melontarkan sebuah candaan yang sungguh sangat tidak lucu, bahkan cenderung menyakiti hati orang lain.
mulutmu adalah macanmu, pernyataan/omongan yg sdh dikeluarkan/ diucapkan, bafai anak panah yg sdh di tarik dan melesat dari busur nya, sdh tdk mungkin di tarik kembali.
Ya, penceramah itu adalah Gus Miftah Habiburahman, pimpinan pondok pesantren “Ora Aji” Sleman, Yogyakarta. Dalam sebuah bagian ceramahnya ia melontarkan kata “goblok” kepada seorang lelaki tua penjual es teh keliling. Kata itu sungguh mengejutkan banyak orang di seluruh Indonesia, salah satu sebabnya karena video kejadian itu tersebar melalui media sosial. Maka netizen pun ramai menyerang Gus Miftah. Namun tak semuanya menyerang, ada pula yang justru membela Gus Miftah, dengan memberikan alasan bahwa apa yang dilakukan oleh Gus Miftah adalah sebuah candaan belaka, adalah bentuk atau gaya ceramahnya Gus Miftah.
Apakah yang dilakukan oleh Gus Miftah itu sebuah candaan belaka? Apakah sah juga kata “goblok” itu dianggap biasa dan penuh pengertian kita harus menerimanya dengan senang hati? Untuk menjawab pertanyaan ini mudah saja, yaitu kaitkan kata kurang layak itu dengan nilai agama, sesuatu yang dibawa oleh Gus Miftah. Layakkah secara nilai dan etika agama? Simple bukan?
Benar bahwa setiap penceramah memiliki style masing-masing, yang tujuannya untuk memikat audiens, sehingga pada perjalanannya kemudian sang penceramah akan banyak memperoleh kesempatan di acara-acara keagamaan. Tetapi pertanyaan paling mendasarnya adalah: audiens mana yang mau ia sasar dengan gaya ceramah yang menyisipkan kata-kata kasar, porno, menabrak nilai kesopanan masyarakat? Tentu saja tak ada. Gus Miftah telah mengklaim dirinya sebagai seorang kyai, maka sejurus dengan itu ia dituntut untuk menebarkan ilmu dan nilai kebaikan kepada umat, bukan hanya candaan yang seringkali malah tak lucu sama sekali.
Apa yang dilakukan oleh Gus Miftah memang fatal sekali. Rupanya kejadian ia mengatakan goblok ke pedagang es itu bukankah kesalahannya yang pertama. Daya dobrak para netizen yang luar biasa telah menguliti Gus Miftah habis-habisan. Bukan saja kehidupan pribadinya dibongkar tanpa ampun, tetapi juga kemudian tersebar video bagaimana Gus Miftah menyebut (maaf) lonte ke seorang seniman senior dari Yogya, yaitu Yati Pesek. Yati adalah seorang seniman yang sangat dihormati dan pernah memperoleh gelar kehormatan dari Keraton Surakarta. Ledekan Gus Miftah pun segera saja membuat sakit hati banyak orang di Yogya, bahkan di seluruh Indonesia. Akibatnya, lahirlah sebuah petisi untuk meminta Presiden Prabowo memberhentikan Gus Miftah sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Alasaanya banyak, salah satunya adalah apa yang dilakukan oleh Gus Miftah sangat bertentangan dengan tugasnya, selain juga mempermalukan Presiden Prabowo. Petisi itu rupanya kuat sekali, sehingga akhirnya Gus Miftah mengundurkan diri dari jabatannya.
Apa yang bisa diambil dari kasus Gus Miftah adalah hal paling mendasar, yaitu selayaknya semua penceramah kembali menitik-beratkan setiap ucapan dan tingkah lakunya saat di tampil di hadapan audiens kepada nilai-nilai kebaikan, etika dan norma agama. Jangan lagi umat terlalu banyak disuguhi oleh ucapan-ucapan yang cenderung menawarkan kelucuan, sementara ilmu agama yang seharusnya didapat malah minim. Berlomba-lombalah para penceramah melontarkan ilmu-ilmu agama, bukan malah sibuk menjadi lucu bagaikan pelawak. Kelucuan atau apa pun yang bersifat hiburan sah-sah saja disisipkan oleh seorang penceramah, namun tak elok jika justru terlalu larut di sana. Terlalu banyak bercanda saat berceramah dalam satu sisi bisa dianggap sebagai sebuah kesombongan, karena menyuguhkan sesuatu yang tak berfungsi menjadi pelepas haus ilmu dari umat. Umat ditempatkan di satu titik yang seolah tak penting. Itulah kesombongannya.
Maka, berhentilah bersombong diri di dalam selimut agama… Dr. M.Zarkasih,SH.,MH.,MSi. Advokat/ Pemerhati Sosial,Hukum dan HAM