November 22, 2024
IMG-20240827-WA0165

Karawang || Tak habis fikir apa yang dilakukan oleh pihak manajemen RS Hastien, Rengasdengklok, Karawang. Ketika tim media dan keluarga korban datang untuk meminta konfirmasi terkait kematian tak wajar seorang pasien bernama Hj. Atih binti Gadi pada Senin (26/08/24), pihak RS melakukan tindakan yang menurut kami “pengecut”.

Bagaimana tidak, tim media yang saat itu hadir, Dwi Joko Waluyo (Ketua FPII Purwakarta & Pemred Infonas.com), Rendy Rahmantha Yusri, A. Md (Wakil Ketua IWOI Kabupaten Bandung & Pemred Lensafakta.com – Lensa Grup), Yeyen Dwiyana (Wakil Ketua MIO Purwakarta & Pemred Investigasi86.com dan Investigasi Grup), dan Agung Sucahyo (Kepala Divisi Investigasi FPII & Wakil Pemimpin Redaksi Arusbawah.com) serta anak kandung korban yang juga merupakan seorang wartawan, Asep Kurniawan, SE (Kaperwil Jabar Mediabareskrim.com), mendapatkan perlakuan yang sangat tidak beretika dari pihak RS Hastien. Beberapa jam menunggu, pihak RS Hastien malah “membantali” Kepala Security, Andi, untuk menemui tim media dengan alasan tak masuk akal, (sedang rapat, tidak bisa ditemui, harus berkirim surat, dll -red), yang lebih mencengangkan lagi pihak manajemen MENANTANG (melalui sekurity) dengan mengatakan kalau pihak media “SURUH LAPOR POLISI SAJA” ??!!

Berbagai ALIBI dikeluarkan pihak RS agar karena tidak berkenan bertemu dengan kami, tim media. Sungguh MEMALUKAN. Sekelas RS yang (katanya) besar dan telah lolos akreditasi memiliki management yang _bad attitude_. Padahal tujuan utama kami adalah untuk memediasikan antara pihak keluarga (korban) dan RS, meminta kejelasan atas kematian tak wajar dari Hj. Atien yang meninggal 5-10 menit setelah diberi suntikan (yang katanya) obat lambung (versi kepala medis) atau obat pereda nyeri (versi perawat yang menyuntikan obat).

Sebelumnya, ramai dipemberitaan media sosial dan media online terkait dugaan Malpraktek atau Kesalahan SOP penanganan medis oleh RS Hastien, seorang pasien (Hj.Atih) yang awal mulanya hanya ingin kontrol rutin di RS itu, justru malah kehilangan nyawa disana setelah satu malam dirawat, yang menjadi sorotan adalah Hj. Atih meninggal karena mengalami Cardiac Arest/gagal jantung (pengakuan pihak RS, Indra sewaktu pertama kali dikonfirmasi) SETELAH disuntikan “obat” oleh salah seorang perawat di IGD pada subuh sebelum kematiannya. Bahkan, informasi yang kami terima tak lama berselang kejadian tersebut, beredar kabar seorang ibu muda yang anaknya juga meninggal tak jelas di RS ini. Miris..! APH dan dinas terkait hanya bungkam dan diam saat berita ini viral, dimana hati nurani kalian? ini nyawa MANUSIA, bukan Hewan..!

Disisi lain, kami sebagai jurnalis dilindungi oleh undang-undang dalam menjalankan tugas, sebagaimana dimaksud pada UU Pers no. 40 tahun 1999, pada pasal 18 ayat (3), tentang “mempersulit/menghalang-halangi tugas pers” dapat dituntut pidana 2 tahun penjara atau denda paling banyak Rp500 juta rupiah. Sebagai bentuk menjalankan tugas jurnalistik dengan profesional, kami mengikuti kode etik jurnalistik untuk melakukan Konfirmasi dan Klarifikasi kepada subjek atau objek sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 UU pers bab kode etik tentang hak jawab dan hak koreksi. Sebagaimana kami dilarang untuk membuat berita opini, berita yang berdasarkan asas praduga tak bersalah dan berita bohong serta berita yang mengandung tendensial pribadi seperti yang tertuang dalam pasal 3 UU Pers no. 40 bab kode etik jurnalistik.

Namun apa yang kami dapat? Sikap tidak terpuji dan pengecut dari pihak manajemen RS Hastien yang secara tidak langsung “meremehkan” dan menganggap sepele pihak media serta keluarga korban (anak pertama korban) Hj. Atih yang meregang nyawa di RS tak beradab ini. Alasan klasik “harus berkirim surat terlebih dahulu” sebelum menemui manajemen mengambarkan betapa PONGAHNYA manajemen RS?

Asep (anak pertama korban) bahkan DIPERSULIT ketika meminta REKAM MEDIS pada hari itu juga, padahal seharusnya “pihak RS dengan lapang dada memberikan Rekam Medis pasien kepada keluarga” (statemen Indra, Kepala Medis), tapi oleh pihak RS terus diulur-ulur dan disuruh menunggu berhari-hari.

Jika kita berbicara tentang pertanggung-jawaban hukum rumah sakit dalam praktik layanan kesehatan dan praktik kedokteran di rumah sakit, sebaiknya diaplikasikan tidak menyimpang dari Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan. Hal ini disebabkan, pertanggung-jawaban hukum rumah sakit dalam menyelesaikan sengketa layanan medis di Indonesia membutuhkan kemanfaatan sesuai *asas.*

Dalam praktiknya, beberapa kali tanggung jawab hukum rumah sakit dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan ini tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Hal ini nampak dari kualitas pelayanan di Unit Gawat Darurat Rumah Sakit yang tidak dapat berjalan secara prima. Padahal, Unit Gawat Darurat Rumah Sakit adalah bagian terdepan atau ujung tombak dari rumah sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan, sehingga baik atau buruknya kualitas pelayanan di Unit Gawat Darurat Rumah Sakit dapat menjadi cermin terhadap kualitas pelayanan rumah sakit.

Pada dasarnya, rumah sakit secara hukum bertanggung jawab terhadap kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatannya. Hal ini sejalan dengan Doktrin _Vicarious Liability._ Dalam perkembangannya, Doktrin _Vicarious Liability_ bercabang menjadi Doktrin _Respondeat Superior_ dan Doktrin _Ostensible_ atau _Apparent Agency._ Dimana _Doktrin Respondeat Superior_ membatasi pertanggungjawaban rumah sakit hanya terhadap dokter in. Sedangkan Doktrin Ostensible atau Apparent Agency memperluas pertanggungjawaban rumah sakit terhadap dokternya, baik dokter in maupun dokter out. Doktrin Respondeat Superior biasanya dipergunakan oleh PENGACARA rumah sakit untuk membela rumah sakit dan membatasi pertanggungjawabannya. Doktrin Ostensible atau Apparent Agency biasanya dipergunakan oleh pengacara pasien untuk memperluas pertanggungjawaban hukum rumah sakit.

Munculnya berbagai penafsiran mengenai pertanggungjawaban hukum rumah sakit sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Rumah Sakit dan perkembangan Doktrin Vicarious Liability, dalam beberapa hal menyebabkan ketidakkonsistenan pada putusan pengadilan. Tentunya, hal ini menjadi beban, khususnya bagi para pencari keadilan. Oleh karena itu, perlu dilakukan rekonstruksi terhadap pola pertanggungjawaban hukum rumah sakit di Indonesia.

KEPADA, YTH, MENTRI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Ir. Budi Gunadi Sadikin, S.Si., CHFC., CLU., tidakkah anda mengetahui DUNIA KESEHATAN DI IBU PERTIWI SEDANG TIDAK BAIK-BAIK SAJA?????

APH, UNIT TIPIDTER POLRES, Dinas Kesehatan Jawa Barat, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Karawang, buka mata kalian, Rumah Sakit Hastien sedang betul-betul “SAKIT”, akankah terus dibiarkan????

Narasi oleh :

Rendy Rahmantha Yusri, A. Md
[Pemimpin Redaksi Lensafakta.com – Lensa Grup – Wakil Ketua IWOI Kabupaten Bandung – Penulis & Pemerhati Jurnalistik, Politik, Lingkungan, dan Hukum & Ham]

Disclaimer :
Artikel diatas ditulis berdasarkan fakta dan data, bukan asas praduga dan bukan bagian dari opini

Red”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *