Beberapa hari lagi Bangsa Indonesia akan merayakan HUT Kemerdekaan Indonesia ke-79. Hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945 jam 10 pagi, Soekarno-Hatta dengan gagah berani memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, di mana saat itu penjajahan oleh Jepang tengah berlangsung. Soekarno-Hatta mengklaim kemerdekaan Indonesia sebagai sebuah bangsa, sebagai sebuah negeri. Apakah juga kemerdekaan rakyat?
Sebuah peristiwa kemerdekaan selayaknya dibaca ulang dengan dua konteks yang berbeda; konteks kebangsaan dan konteks kerakyatan. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 adalah peristiwa kemerdekaan Indonesia sebagai sebuah bangsa, sebuah negeri, di mana di dalamnya ada kedaulatan dan rakyat. Kemerdekaan dari belenggu penjajahan, memutus rantai yang mengikat jati-diri. Maka terlepaslah belenggu itu, putuslah rantai itu. Selesai? Tentu tidak. Setelah kemerdekaan sebagai bangsa, pada perjalanannya kemudian rakyat menuntut kemerdekaan atas hak-haknya sebagai rakyat, jauh lebih luas dibandingkan dengan kemerdekaan dari belenggu penjajahan. Ada hak-hak personal rakyat yang harus dipenuhi oleh negara, agar rakyat benar-benar memiliki kemerdekaan. Merdeka dari kemiskinan, merdeka dari kebodohan, merdeka dari ketidak-adilan, merdeka dari kegelisahan atau ketakutan.
Pada satu garis pandang, kemerdekaan sebuah bangsa tidak selalu bergaris lurus dengan kemerdekaan rakyatnya, di dalam konteks pemenuhan hak. Ketika usia kemerdekaan sebuah bangsa telah mencapai puluhan atau ratusan tahun, bisa jadi kemerdekaan rakyat baru dimulai, bahkan bisa saja belum dimulai. Indonesia hingga lebih dari 20 tahun setelah kemerdekaannya, rakyat masih terbelenggu oleh kemiskinan, masih terancam oleh tindak para pemberontak (termasuk pemberontakan komunis), masih dihantam oleh ketidak-adilan sosial dan ekonomi serta hukum. Hal itu terjadi karena sistem pemerintahan yang otoriter, jurang kaya-miskin yang lebar dan carut-marutnya situasi politik dan keamanan.
Keadaan mulai berubah ketika pemerintahan berganti dari orde lama ke orde baru.
Dan kita sekarang di sini, di 79 tahun usia kemerdekaan Indonesia. Adakah situasinya masih sama dengan berpuluh tahun lalu, atau justru telah sangat jauh lebih baik lagi? Adalah terlalu naif jika kita mengatakan situasi saat ini (secara sosial, ekonomi dan politik) masih sama dengan di tahun 1945 atau 1965. Tentu saja sudah banyak perbedaan dan perkembangan yang lebih baik. Namun juga gegabah jika mengatakan bahwa perkembangan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat telah mencapai titik ideal. Ibarat dinding rumah yang dibuat dari bilah bambu, maka di sana-sini masih terlihat lobang-lobang yang membuat dinding tak sempurna.
Hari ini kita masih mendengar suara anak-anak yang lapar, teriakan orang-orang yang terdzolimi oleh ketidak-adilan, lenguhan suara kebebasan yang tersumbat, dan mata-mata yang menatap kosong masa depan. Sementara pada saat yang sama begitu banyak yang hidup bergelimang kemewahan, para koruptor yang menikmati kompromi hukum dan peradilan, dan penguasaan yang memonopoli sistem sosial dan ekonomi. Pada titik inilah kita patut mengatakan bahwa sejatinya belum seluruh rakyat berada di dalam kemerdekaan.
Usia negeri ini telah 79 tahun. Sebagai sebuah bangsa, perjalanannya masih sangat panjang. Panjang usia ke depan menjadi sebuah optimisme tersendiri bahwa situasi dan keadaan akan menjadi lebih baik lagi. Rakyat akan sampai pada titik kesejahteraan dan kemakmuran. Kapan? Pertanyaan barangkali bukanlah soal waktu, namun sejauh apa setiap anak bangsa ini berpikir tentang satu hal yang sama: Indonesia menjadi emas, bukan sekedar bongkah batu atau besi berkarat. KBP (P) DR (C) M.Zarkasih, SH.MH/ Kapusdiklatda DK Jkt/Advokat Peradin/Pembina Komenwa Ind/Sako Pramuka Alwasliyah .
Red”