Pernahkah Anda melihat orang-orang yang berjuang di dalam kediamam atau ketenangan dalam konteks kepentingan orang banyak, tanpa Anda tahu mereka itu siapa? Ya, mereka adalah para Silent Warrior. Silent Warrior adalah sebuah istilah yang merupakan gabungan antara kata “silent” (tenang/diam) dan “warrior” (pejuang/pendekar), yang secara bebas bisa diterjemahkan sebagai “pejuang dalam diam” atau orang yang bekerja untuk kepentingan orang banyak namun sosoknya tetap tersembunyi, nyaris tak ada yang mengenalnya.
Silent Warrior memang unik. Mereka bagaikan bergelap-gelap di dalam terang, bersepi-sepi di dalam keramaian. Mereka berjuang melakukan tugasnya secara total, lalu pihak lain menikmati perjuangannya, tanpa pernah melihat siapa yang berjuang itu. Silent Warrior tak pernah berteriak mengklaim hasil pekerjaannya, mereka sudah cukup bahagia ketika pihak lain menerima dan menikmati apa yang dikerjakannya. Silent Warrior hampir tak pernah dipuji ketika berhasil, tetapi bersiap menerima sanksi atas segala bentuk kegagalan.
Di sekeliling kita — sadar atau tidak — seringkali kita bertemu dengan para Silent Warrior tersebut. Tukang sapu jalanan, misalnya. Kita marah ketika jalanan dipenuhi oleh sampah, namun kita tak pernah tahu — apalagi memberikan apresiasi — kepada orang yang telah membuat jalanan menjadi bersih. Sebahagian kita menganggap biasa saja para pekerja kebersihan, seraya berucap dalam hati “toh mereka sudah dibayar untuk itu”. Atau contoh lain adalah tentang perjuangan para guru , tenaga medis, anggota TNI/Polri di daerah perbatasan atau terluar Indonesia. Mereka tercerabut dari sistem pergaulan sosial kota untuk hidup di tengah pegunungan atau sisi laut, yang sama sekali tidak menawarkan kemudahan atau hal-hal yang sifatnya modern. Mereka berjuang dengan segala keterbatasan, di mana terkadang nyawa pun harus mereka pertaruhkan. Kita yang sibuk di tengah keriuhan kota besar pastilah tak sempat membayangkan bagaimana perjuangan luar biasa para Silent Warrior itu.
Silent Warrior ada di berbagai sisi kehidupan kita, pada berbagai profesi dan jenis perjuangan mereka. Mereka bukan hanya sosok yang berjuang lewat eksistensinya secara pribadi, tetapi juga ada yang berjuang dengan membawa nama kelompok, komunitas atau institusi. Penyebutan Silent Warrior pun bisa datang dari masyarakat, bisa pula diciptakan oleh orang-orang yang ada di dalamnya. Penyebutan Silent Warrior oleh masyarakat atau kalangan di luar diri mereka misalnya pernah dilakukan oleh Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian di tahun 2019 lalu yang menyebut para anggota security atau satuan pengamanan (satpam) sebagai Silent Warrior. Sebuah penyebutan yang membawa rasa bangga di baliknya. Contoh penyebutan yang berasal dari diri mereka sendiri misalnya kita mengenal ada satuan Silent Warrior (SW) di Densus 88. SW Densus 88 yang karena tugasnya memang mengharuskan mereka berdiam-diam di dalam keriuhan, bergelap-gelap di dalam terang, sebab ada pola intelejen yang harus dilaksanakan.
Lalu apakah seseorang yang sosoknya bisa disebut sebagai Silent Warrior itu akan surut jiwa kejuangannya lantaran merasa kurang diapresiasi eksistensi dirinya, sebab orang lebih melihat hasil perjuangannya? Tentu tidak. Meski secara manusiawi ada dari mereka yang merasa diperlakukan kurang fair oleh orang lain, oleh komunitasnya, atau oleh institusi di mana ia bertugas. Ada sebuah contoh kasus di mana seseorang yang telah berjuang selama puluhan tahun, mengukir prestasi pribadi dan institusinya, namun justru mendapatkan apresiasi yang minim. Apresiasi dimaksud tentu saja bukanlah uang atau materi, tetapi adalah bentuk-bentuk penghargaan lain yang bukan bersifat kebendaan.
Contoh dimaksud adalah tentang seorang anggota Polri yang telah menorehkan prestasi, baik secara nasional mau pun internasional. Ia pernah bekerja di daerah terpencil di antara lebatnya hutan, lalu ikut membangun dan membesarkan salah satu satuan atau detasemen yang sangat disegani di dunia internasional, lalu juga bertugas di luar negeri dalam banyak jenis ragam penugasan, mulai dari menjadi bagian pasukan penjaga perdamaian PBB hingga bertugas pada kedutaan besar Republik Indonesia di beberapa negara. Ikut membina Pencak Silat Indonesia, juga melatih /membina di Gerakan Pramuka. Jika melihat catatan tersebut di atas, maka laiklah kita menganggap bahwa ia bukanlah pejuang biasa, ia layak disebut sebagai seorang pejuang istimewa secara kapasitas. Lalu hal apa yang ia anggap sebagai kurang fair dalam mengapresiasi perjuangan dan prestasinya?
Sang polisi tersebut tidak berbicara tentang seberapa besar uang yang ia dapat, namun secara manusiawi yang tengah bicara tentang jenjang karir atau hirarki di dalam institusinya. Seperti diketahui, seorang anggota Polri jika akan menaiki karir atau hirarki yang lebih tinggi haruslah melalui proses pendidikan lanjutan yang pada setiap level kepangkatan atau jabatan berbeda satu sama lain. Nah, proses pendidikan itulah yang luput didapatkan oleh sang anggota Polri yang sedang kita bicarakan ini.
Pola rekrutmen pengisi jabatan tertentu lewat proses pendidikan sebenarnya sudah baik secara sistem. Bukan hanya di institusi TNI/Polri, tetapi juga di institusi sipil. Namun sistem yang sudah baik itu dalam beberapa kasus kerap dirusak oleh insan-insan yang sarat dengan kepentingan yang sifatnya subyektif. Misalnya kedekatan secara personal atau — yang lebih menyedihkan — menggunakan uang sebagai kendaraan untuk masuk ke pintu pendidikan. Maka tak heran jika ada komentar yang nuansanya menyalahkan, seperti “kamu sih kurang pendekatan sama boss” atau “kenapa tidak berusaha kasih uang untuk melancarkan keinginanmu?” Karena itulah yang terjadi, maka sang anggota Polri itu harus dengan ikhlas merasakan dirinya seperti kurang dihargai, seraya ia menyaksikan orang-orang yang secara kapasitas dan kapabilitas berada di bawahnya sekarang justru memikiki karir di atas dirinya. Sebuah kegetiran yang mau tak mau harus ia kecap dan bawa sepanjang hidup. Pernah sekali ia berpikir untuk ikut ke dalam kecenderungan yang keliru itu, yaitu dengan memberikan upeti agar ia bisa menjalani pendidikan lanjutan, namun hati nuraninya menolak secara keras. Ia tak ingin menodai institusi yang sangat ia cintai dan kagumi.
Maka hari ini para Silent Warrior tetaplah hadir di sekeliling kita, terlepas dari kita menyadari atau tidak keberadaan mereka. Mereka bekerja dalam senyap, mereka berada di ruang kecil yang sunyi, pada saat keramaian ada di sekitarnya. Mereka berjuang dan mengabdi untuk bangsa dan negara, di mana tidak setiap orang mau melakukan apa yang ia lakukan. Semua orang ingin menjadi pahlawan, ingin menjadi pendekar, tetapi hanya sedikit yang ikhlas namanya tak dikenal. Silent Warrior hanya memiliki satu keikhlasan yaitu berjuang untuk bangsa dan negara RI tercinta. *Muhamad Zarkasih/ Pengamat Sosbudkum*