Oleh: Kuswadi A.H, MBA., MPP
Di negeri demokrasi, suara bebas adalah oksigen bagi publik. Namun hari-hari ini, ruang bernapas itu terasa semakin sesak. Pers, yang semestinya menjadi pilar keempat demokrasi, mulai digiring ke dalam kerangkeng administratif yang membatasi langkah dan membungkam suara kritis.
Dalihnya sederhana: demi ketertiban administratif. Tapi ketertiban macam apa yang ingin ditegakkan jika suara-suara jurnalis independen dan media alternatif dianggap mengganggu, hanya karena tak memiliki “pengakuan resmi”?
Kebebasan pers bukanlah hak istimewa sekelompok insan media. Ia adalah hak publik untuk tahu. Menyempitkan definisi wartawan hanya pada mereka yang tercatat secara administratif adalah kemunduran demokrasi. Negara demokratis mestinya tak sibuk memilah siapa yang layak bicara dan siapa yang tidak.
Alih-alih menutup pintu, negara dan otoritas pers seharusnya membuka ruang: memperkuat etika jurnalistik, memperluas pelatihan, dan mempertemukan semua pemangku kepentingan dalam satu meja dialog. Di era digital, ketika siapa pun bisa menjadi produsen informasi, pendekatan eksklusif justru kontra-produktif.
Harus diakui, ada problem di lapangan: informasi palsu, wartawan abal-abal, media tak bertanggung jawab. Tapi solusinya bukan menyapu bersih dengan satu label. Solusinya adalah membangun ekosistem pers yang sehat, terbuka, dan berorientasi pada publik.
Wartawan, sejatinya, adalah pengawal nurani bangsa. Di tengah kabut kekuasaan dan kabar yang dikendalikan algoritma, mereka menjadi penunjuk arah bagi publik. Kita butuh lebih banyak—bukan lebih sedikit—jurnalis yang berani, merdeka, dan berpihak pada kebenaran.
Seperti pernah diingatkan oleh Zoelnoer:
> “Kebebasan pers bukan hanya hak wartawan, tetapi hak publik untuk tahu.”
Jika negara terus meminggirkan media independen dan menyempitkan definisi jurnalistik, maka yang kita dapatkan bukan ketertiban, tapi keterkungkungan. Demokrasi tidak tumbuh di tanah yang takut pada kritik. Dan pers yang dibungkam adalah tanda awal dari matinya kesadaran publik.
Tentang Penulis:
Kuswadi A.H, MBA., MPP
Pemerhati isu pendidikan dan media. Aktif menggelar pelatihan literasi digital dan media di kalangan pelajar dan masyarakat umum. Berdomisili di Kudus, Jawa Tengah.
Red”