Jakarta, 21 Juni 2025 – Di tengah hiruk-pikuk janji transparansi dan akuntabilitas, seorang pejabat Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah, Rasyid Pandei, justru mempertontonkan kemunduran pemahaman bernegara. Dengan tindakan yang terkesan gegabah dan mengabaikan kaidah hukum, ia secara mencengangkan memilih jalur pidana dengan melaporkan seorang wartawan ke kepolisian. Laporan bernomor B/39/VI/2025/Sek-Bgi tertanggal 19 Juni 2025 itu diajukan atas tuduhan “dugaan pencemaran nama baik” terkait pemberitaan yang sebelumnya dimuat oleh puluhan media.
Langkah Rasyid Pandei ini, alih-alih mencerminkan kedewasaan seorang pejabat publik dalam menyikapi kritik, justru sontak memantik gelombang sorotan tajam dan kecaman dari berbagai penjuru, terutama dari garda terdepan kebebasan pers: pegiat pers, praktisi, dan pakar hukum. Pasalnya, di saat mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Pers telah terhampar jelas, ia justru menempuh jalur hukum pidana yang tak hanya berpotensi, namun secara terang-terangan berupaya mengkriminalisasi kerja jurnalistik. Ini adalah tamparan keras bagi iklim demokrasi yang sehat.
Para praktisi dan pakar hukum secara bulat mengecam tindakan ini sebagai manifestasi nyata ketidakpahaman, bahkan keangkuhan, terhadap sistem hukum pers yang telah kokoh di Indonesia. Mereka dengan tegas mengingatkan bahwa sengketa yang berkaitan dengan produk jurnalistik, dalam konteks negara hukum yang menghargai kebebasan berekspresi, wajib diselesaikan melalui mekanisme yang spesifik, bukan dengan jerat pidana yang hanya akan membungkam suara kritis.
“Tindakan ini bukan sekadar mencerminkan ketidakprofesionalan, melainkan juga arogansi seorang pejabat publik di Kabupaten Banggai Laut yang buta akan hukum,” ujar Dr. Yanto Irianto SH.MH, seorang Praktisi Hukum dan Dosen Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Cirebon, dengan nada geram menanggapi pelaporan tersebut. “Melaporkan wartawan ke polisi adalah bentuk kriminalisasi telanjang terhadap pers. Kita harus pahami, produk jurnalistik tunduk sepenuhnya pada Undang-Undang Pers, bukan semata-mata KUHP dalam konteks sengketa pemberitaan. Ini adalah upaya pembungkaman yang sistematis.”
Dr. Yanto Irianto menjelaskan lebih lanjut, seolah mengulang pelajaran dasar bagi para pejabat yang lalai, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara gamblang dan tanpa celah mengatur mekanisme penyelesaian sengketa pers. Pasal 5 ayat (2) dan (3) secara tegas, lugas, dan tak terbantahkan menyatakan bahwa pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan memiliki Hak Jawab dan Hak Koreksi. “Pers wajib melayani Hak Jawab,” dan “Pers wajib melayani Hak Koreksi,” bunyi kedua pasal tersebut, seakan menjadi alarm bagi pejabat yang abai.
“Lebih dari itu,” tambah Dr. Yanto dengan penekanan, “penyelesaian sengketa pers juga diperkuat dengan Memorandum of Understanding (MoU) yang tak bisa diremehkan antara Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Dewan Pers. MoU ini secara eksplisit menegaskan bahwa segala aduan yang berkaitan dengan produk jurnalistik harus terlebih dahulu ditindaklanjuti melalui mekanisme yang ada di Dewan Pers – sebuah lembaga yang secara khusus dibentuk untuk menjaga marwah pers – sebelum boleh diproses secara hukum oleh kepolisian. Ini adalah benteng terakhir kebebasan pers yang harus dihormati.”
“Mekanisme hukum untuk menyelesaikan sengketa pers sudah sangat jelas diatur, bahkan dengan adanya MoU antara Polri dan Dewan Pers yang seharusnya dipahami oleh setiap penegak hukum dan pejabat publik,” tegas Dr. Yanto Irianto, suaranya meninggi. “Jika ada keberatan terhadap sebuah pemberitaan, jalan yang seharusnya ditempuh adalah mengajukan Hak Jawab atau Hak Koreksi kepada media yang bersangkutan, serta melapor ke Dewan Pers jika tidak ada tanggapan yang memadai. Bukan langsung melapor ke polisi! Tindakan pejabat ini tidak hanya menunjukkan pengabaian terhadap UU Pers dan kesepakatan bersama antara penegak hukum dan lembaga pers, namun juga secara terang-terangan berpotensi menghambat kebebasan pers dan mengebiri peran pengawasan jurnalis.”
Menyikapi laporan ini, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Pers mendesak agar Kepolisian Republik Indonesia menunjukkan kearifan dan kebijaksanaan dalam menyikapi aduan atau laporan yang berkaitan dengan sengketa pemberitaan. Polri diharapkan konsisten dan patuh pada MoU dengan Dewan Pers, serta tidak gegabah dalam memproses laporan yang jelas-jelas masuk dalam ranah UU Pers. Setiap langkah hukum harus berdasarkan pemahaman yang utuh tentang karakteristik dan mekanisme penyelesaian sengketa jurnalistik, guna mencegah preseden buruk kriminalisasi pers di masa mendatang.
Insiden memalukan ini kembali menjadi pengingat yang menyakitkan akan pentingnya pemahaman dasar pejabat publik terhadap fungsi dan peran pers sebagai pilar keempat demokrasi – sebuah pilar yang seharusnya dijaga, bukan dihancurkan. Lebih dari itu, ini adalah seruan keras akan pentingnya mematuhi prosedur yang telah disepakati bersama demi menjaga iklim pers yang bebas dan bertanggung jawab. Pelaporan pidana terhadap wartawan atas produk jurnalistik yang semestinya diselesaikan melalui mekanisme pers, adalah ancaman nyata yang dikhawatirkan akan menciptakan iklim ketakutan yang mencekik bagi jurnalis dalam menjalankan tugas mulianya: mengawasi jalannya pemerintahan dan menyuarakan kepentingan publik. Kebebasan pers adalah harga mati yang tidak bisa ditawar!
Redaksi