PETI Merajalela, Sungai Meracuni Warga: Koordinator Bayangan Diduga Terlibat

0
13

Sanggau, Kalimantan Barat –

Meskipun pemberitaan mengenai aktivitas pertambangan emas tanpa izin (PETI) yang berlangsung secara masif di kawasan Semerangkai, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, telah viral dalam beberapa hari terakhir, hal tersebut tampaknya belum cukup untuk membuat para pelaku jera. Tidak adanya tindakan tegas dari aparat penegak hukum (APH) setempat—baik dari Polsek, Polres, maupun Polda Kalbar—menjadi alasan utama mengapa praktik ini terus berlangsung.

Aktivitas PETI yang kian menjamur kembali menjadi sorotan tajam. Temuan lapangan oleh tim gabungan investigasi dari awak media dan para aktivis lingkungan pada Senin, 21 April 2025, mengungkap fakta mengejutkan.

Fenomena ini tidak hanya menyoroti kerusakan lingkungan yang semakin mengkhawatirkan, tetapi juga menyeret nama-nama oknum yang diduga berperan sebagai “koordinator” dalam dugaan pengambilan setoran dari para pelaku tambang ilegal.

Salah satu media online, pada Sabtu, 18 April 2025, mengungkap adanya dugaan aliran dana dari koordinator PETI kepada sejumlah individu yang mengaku sebagai pengatur lapangan. Inisial MH dan YS disebut-sebut sebagai aktor penting dalam struktur distribusi setoran, yang diduga mengatasnamakan oknum institusi dan mengklaim diri sebagai pengendali dari berbagai platform.

Struktur ilegal ini diduga terbentuk secara sistematis, bahkan disebut memiliki pengurus di setiap kabupaten. Tugas mereka adalah menjembatani hubungan antara pelaku tambang ilegal dan pihak eksternal, termasuk oknum aparat.

Namun hingga kini, belum ada langkah nyata dari aparat penegak hukum, baik di tingkat Polres Sanggau maupun Polda Kalbar. Padahal, masyarakat terus mendesak agar hukum ditegakkan secara adil dan transparan tanpa pandang bulu.

Keterlibatan oknum yang mengatasnamakan diri sebagai koordinator PETI merupakan tamparan keras terhadap integritas penegakan hukum. Praktik semacam ini tidak hanya melanggar etika institusi, tetapi juga menimbulkan krisis kepercayaan publik terhadap aparat sebagai pelayan masyarakat.

Aktivitas PETI di wilayah aliran Sungai Kapuas telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius. Limbah merkuri dan bahan kimia berbahaya lainnya mencemari air sungai, membunuh biota perairan, serta meracuni sumber air masyarakat.

Secara hukum, aktivitas ini melanggar Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa setiap orang yang melakukan kegiatan pertambangan tanpa izin resmi dapat dipidana penjara hingga lima tahun dan dikenai denda maksimal Rp100 miliar.

Ketentuan ini berlaku tanpa pengecualian, mencakup pelaku langsung, pemodal, koordinator lapangan, hingga pihak yang memfasilitasi aktivitas tambang ilegal.

Menanggapi persoalan ini, pakar hukum dan kebijakan publik Dr. Herman Hofi Munawar menyatakan bahwa perbincangan mengenai PETI adalah diskursus yang tak pernah usai. Menurutnya, persoalan ini kompleks karena mencakup banyak dimensi—mulai dari ekonomi rakyat kecil, kerusakan lingkungan, dominasi cukong tambang, hingga potensi keuntungan ilegal bagi pihak berwenang.

“Persoalan PETI ini semakin kompleks karena banyak pihak yang diuntungkan. Namun dampaknya sangat jelas: rusaknya lingkungan, terganggunya kesehatan masyarakat, dan ancaman bencana ekologis,” tegas Herman.

Ia juga menyoroti krisis air bersih akibat pencemaran berat di Sungai Kapuas. Menurutnya, hampir tidak ada lagi aliran sungai yang layak dikonsumsi masyarakat. Kandungan bahan kimia dan logam berat dari aktivitas PETI telah menjadikan air sungai beracun dan tidak bisa digunakan.

“Ini bukan sekadar masalah hukum atau lingkungan. Ini sudah menjadi persoalan kemanusiaan,” tambahnya.

Saat dikonfirmasi melalui aplikasi WhatsApp, pihak Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kalbar Ir.H.Adi Yani, memberikan jawaban singkat, “Akan berkoordinasi dengan pihak Polda Kalbar.”

Masyarakat sipil, aktivis lingkungan, dan media yang tetap berpegang pada prinsip etika jurnalistik menyerukan penindakan tegas terhadap seluruh pihak yang terlibat dalam aktivitas PETI—baik pelaku tambang, koordinator lapangan, maupun oknum aparat. Mereka mendesak agar seluruhnya diperiksa secara menyeluruh dan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Ketiadaan langkah konkret dari aparat penegak hukum dianggap sebagai bentuk pembiaran yang merusak tatanan hukum dan melemahkan kepercayaan publik terhadap negara.

Jika dibiarkan, PETI di Semerangkai bukan hanya akan menjadi simbol kehancuran lingkungan, tetapi juga bukti kegagalan sistemik dalam penegakan hukum dan pengawasan lingkungan.

Sebelum tim investigasi gabungan media turun ke lokasi PETI hari ini, mereka juga sempat mengonfirmasi Kabid Humas Polda Kalbar melalui pesan singkat WhatsApp. Kabid Humas menyatakan, “Coba koordinasi dengan Polres setempat. Dan yang dicek Polres setempat itu sudah tidak aktif. Banyak yang menggunakan foto lama dalam berita-berita yang sudah tayang,” ujarnya.

Hingga berita ini diterbitkan, belum ada pihak berwenang yang dapat dikonfirmasi lebih lanjut. Namun, temuan investigasi gabungan hari ini memberikan bukti nyata yang tidak bisa diabaikan.

Sumber: Dr. Herman Hofi Munawar, Pakar Hukum dan Kebijakan Publik
Red”

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini