_Oleh: Ali Syarief_
Bandung – Ketika berbicara tentang tanggung jawab seorang menteri, khususnya dalam mengelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN), integritas dan akuntabilitas adalah dua hal yang mutlak. Erick Thohir, sebagai Menteri BUMN, semestinya memahami bahwa mega korupsi yang terjadi di PT. Pertamina bukan hanya sekadar skandal keuangan, tetapi juga mencerminkan kegagalan sistemik dalam kepemimpinannya. Ironisnya, alih-alih menunjukkan rasa tanggung jawab yang mendalam, Erick Thohir justru masih bisa tampil dengan wajah sumringah di depan publik, seolah tidak ada hal besar yang harus dipertanggungjawabkan.
Kasus korupsi di PT. Pertamina yang merugikan negara hingga triliunan rupiah seharusnya menjadi tamparan keras bagi Pemerintah. Ini bukan sekadar kesalahan individu atau oknum tertentu, tetapi bukti nyata dari kelemahan pengawasan dan tata kelola yang seharusnya menjadi tanggung jawab penuh seorang Menteri BUMN.
Dalam sistem pemerintahan yang sehat, setiap menteri yang gagal menjalankan tugasnya dengan baik harus siap mengundurkan diri sebagai bentuk tanggung jawab moral. Namun, yang kita saksikan adalah sikap sebaliknya: pembelaan diri tanpa refleksi dan tanpa konsekuensi nyata.
Sikap Erick Thohir yang terkesan santai di tengah besarnya skandal ini justru memperburuk citra pemerintahan Jokowi di masa lalu, yang dilanjutkan Presiden Prabowo saat ini. Masyarakat berhak mempertanyakan, apakah pemimpin seperti ini yang layak dipercaya mengelola aset-aset negara? Jika seorang pejabat publik tidak merasa malu atau terbebani dengan keterlibatan kementeriannya dalam kasus korupsi besar, maka ini adalah sinyal buruk bagi masa depan tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan.
Keengganan untuk mundur menunjukkan bahwa pejabat di Indonesia masih jauh dari budaya pertanggungjawaban politik yang seharusnya. Di negara-negara dengan sistem demokrasi yang matang, seorang pejabat yang institusinya tersandung skandal besar akan segera mengundurkan diri sebagai bentuk penghormatan terhadap jabatan yang diembannya. Namun di Indonesia, jabatan justru dipertahankan mati-matian meskipun kepercayaan publik sudah jatuh ke titik terendah.
Mega korupsi di PT. Pertamina seharusnya menjadi momentum untuk perbaikan, bukan justru ditutupi dengan berbagai narasi pembelaan yang menyesatkan. Jika Erick Thohir benar-benar memiliki integritas, seharusnya ia tidak menunggu desakan publik untuk mundur, melainkan secara sukarela mengambil langkah itu sebagai bentuk pertanggungjawaban moral. Lebih jauh, bukan hanya pengunduran dirinya yang dituntut, tetapi juga langkah hukum yang tegas untuk menyeret semua pihak yang terlibat dalam skandal ini.
Negara ini membutuhkan pemimpin yang berani menghadapi konsekuensi dari kegagalan mereka, bukan yang sekadar lihai berkomunikasi dan mencari perlindungan politik. Jika budaya impunitas seperti ini terus dibiarkan, maka jangan heran jika kasus-kasus korupsi semakin menggurita dan kepercayaan publik terhadap pemerintah semakin runtuh.
Erick Thohir, sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas kebijakan di BUMN, tidak boleh hanya diam dan terus menjalankan tugasnya seolah tidak ada yang terjadi. Sudah saatnya bagi dia untuk mundur dan mempertanggungjawabkan kegagalannya dalam mengelola perusahaan-perusahaan negara dengan baik. (*)
Red”