Januari 11, 2025
IMG-20250111-WA0321

Alangkah kagetnya publik manakala hakim menjatuhkan hukuman 6,5 tahun dan denda 1 milyar kepada Harvey Moeis yang telah melakukan korupsi sebesar 300 trilyun. Segera saja aroma ketidak-adilan sangat terasa di putusan tersebut, yang lalu berimplikasi kepada lahirnya kecurigaan bahwa “ada sesuatu” di balik putusan itu. Kekecewaan itu bukan saja dilontarkan oleh masyarakat luas, bahkan Presiden Prabowo Subianto pun sempat menyinggung hal itu dengan mengatakan “harusnya dihukum 50 tahun”. Dan persoalan ini pun lalu berlanjut dengan adanya rencana dari Komisi Yudisial yang akan memeriksa hakim pemutus kasus Harvey Moeis itu.

Terkadang kita bingung kenapa para hakim masih saja ada yang memutus sebuah perkara dengan seolah “mempermainkan” hukum. Sulit sekali mencari celah argumentasi bagaimana sampai korupsi 300 trilyun bisa diganjar dengan hukuman 6,5 tahun? Ada ketimpangan yang luar biasa dan sangat bernuansa tidak adil. Bandingkan dengan kasus-kasus lain — yang nilai kerugiannya jauh di bawah itu — dimana para terdakwanya divonis lumayan berat, dimiskinkan pula.

Dari kasus Harvey Moeis itu bisalah ditarik sebuah garis kasar, bahwa memang telah terjadi “kompromi” yang hebat di dalam proses persidangannya. Kompromi yang menyakitkan, yang mencederai rasa keadilan masyarakat. Maka tak salah jika KY harus turun tangan menyelesaikan kasus tersebut.
*Fiat justitia,ruat caelum* ( Biarlah hukum ditegakkan, walau langit akan runtuh,).
Persoalan hukum yang juga sangat ramai adalah tentang ditetapkannya Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto oleh KPK, atas kasus Harun Masiku. Menjadi sangat ramai karena pihak Hasto dan PDI-P menuding KPK telah bekerja berdasarkan kepentingan politik, bukan penegakan hukum.
Nama mantan Presiden Jokowi pun terseret oleh karenanya, bahkan dianggap sebagai “pembalasan” atas tindakan PDI-P yang memecat Jokowi, Gibran dan Bobby Nasution.

Terlepas dari masalah politik, harus diakui bahwa KPK memiliki dasar yang kuat untuk mempersangkakan Hasto. Setidaknya ada dua tuntutan yang dilemparkan ke Hasto, yaitu penyuapan dan perintangan penyidikan. KPK pun telah mengantongi bukti yang cukup atas dua pasal tersebut.

Kita memang tak boleh kaget jika ada politisi yang terkena kasus tertentu, lantas mengkaitkannya dengan masalah politik. Itu sebuah pintu masuk untuk berkelit yang paling disukai oleh para politisi. Hal itu ada benarnya, ada pula tidak.

Kasus Harun Masiku telah terjadi di tahun 2020, di mana ada kasus penyuapan terhadap seorang komisioner KPU Wahyu Setiawan, yang telah ditahan dan divonis oleh pengadilan. Hasto yang saat itu didengung-dengungkan terlibat justru tenang-tenang saja, hanya sempat diperiksa oleh KPK namun tak berkelanjutan. Tetapi ketika ramai peristiwa pemecatan Jokowi oleh PDIP-P, seolah secara tiba-tiba Hasto diburu sedemikian rupa.
Pertanyaan paling mendasar: kenapa baru sekarang KPK menetapkan Hasto sebagai tersangka?

Atas apa yang dilakukan oleh KPK itu sah saja jika tercium aroma politiknya. Dan memang benar kasus hukum itu telah bertransformasi menjadi persoalan politik, karena setelah ditetapkan sebagai tersangka, Hasto mengancam akan membuka kasus-kasus lama yang melibatkan Jokowi. Kembali pertanyaan muncul: benarkah Hasto memiliki bukti kasus-kasus itu, atau hanya sekedar psy-war untuk menggertak KPK? Jika pun benar kasus-kasus dan bukti-bukti ada ada, alangkah jahatnya Hasto dan kelompoknya karena membiarkannya berlangsung dulu.

Kita sebagai rakyat hanya menginginkan satu hal sederhana, meski pelaksanaannya tidaklah sederhana: bebaskan hukum dari pusaran kompromi dan jeratan politik. Biarkan hukum berada di tempatnya yang sejati, dimana ada keadilan dan kesetaraan serta independensi.
Biarlah hukum ada di kolamnya yang jernih, tanpa membuat airnya menjadi kotor. *Lex est rex*( hukum sebagai raja) . Adv.Dr.Muhamad Zarkasih, SH. MH/ Advokat/Karo Tindak Bankum LVRI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *