November 21, 2024
IMG-20240826-WA0229

Lin.Ri.com, Tuntang Kab Semarang, Aris Setyawan, S.STP. MM selaku Camat Tuntang lakukan terobosan serta buat sejarah baru setelah ratusan tahun satu dusun didesa Tuntang terdiskriminasi oleh mitos. Perdusunan yang dianggap paling sakral dan mistis, Sehingga Camat bersama jajaran Forkopincam Tuntang diarak keliling Rawa Pening untuk melaksanakan kegiatan Tebar Benih Ikan Mujair sebagai bentuk kepedulian menjaga keseimbangan ekosistem serta bekti terhadap Ibu Bumi, dalam rangka Vestifal Perahu Nelayan dan Merti Dusun Klurahan RW.06 Desa Tuntang dengan mengusung tema “ Ngalap Samodro Berkahing Pangaurip”.

Minggu, 25 Agustus 2024 disela protokoler serta jadwal kegiatan yang padat, Camat beserta jajaran Forkopincam (Forum Komunikasi Pimpinan Kecamatan) menyempatkan untuk menghadiri undangan kegiatan disalah satu Dusun di RW.06 Desa Tuntang. Kegiatan yang dilaksankan mulai jam 08 : 00 wib diawali dari penjemputan Forkopincam dianjungan dermaga BBWS Pamali Juana (Jembatan Biru) Semurup Desa Asinan, kemudian agenda dilanjudkan dengan karnaval perahu nelayan menuju titik Lokasi penebaran benih ikan yang telah disediakan oleh kelompok nelayan rawa pening, serta dilanjudkan dengan menghadiri dan memberikan sambutan dalam acara Merti Dusun yang dilaksanakan di Njaratan yaitu lokasi makam Leluhur Dusun Klurahan.

Acara begitu terasa hidmat dan penuh haru dari seluruh masyarakat yang hadir waktu itu. Masyarakat Dusun sangat mengapresiasi dan berterima kasih atas kehadiran orang nomor satu di kecamatan Tuntang tersebut, walaupun harus berpanas-panasan dan berjajar dipinggir jalan untuk menyambut kedadatanganya, mereka sangat tetap bersemangat karena bangga dan bahagia. Sambutan begitu meriah dengan menampilkan semua tradisi kearifal lokal yang ada sebagai kultur budaya untuk penyambutan tamu-tamu Istimewa. Maklumlah dari ratusan tahun baru pertama kali inilah yang menjabat Camat Tuntang berkenan hadir menghadiri undangan kegiatan Dusun serta membaur bersama warganya tanpa ada tendensi apapun dengan niat tulus bahwa ‘saya mempunyai niatan baik, dan saya juga menjalankan amanah jabatan yang diembankan kepada saya sebagai perpanjangan tangan pemerintah Kabupaten Semarang’ tuturnya kepada awak media.

Dalam kesempatan wawancaranya yang lain Aris Setyawan, Camat yang dikenal low profil, ramah dan akrap dengan semua kalangan yang ada di kecamatan Tuntang tersebut menyatakan ‘bahwa kegiatan tersebut sangat baik, sangat perlu dibuat agenda tahunan semacam ini yang sukur-sukur bisa dibuat yang lebih besar lagi, apalagi potensi serta spot destinasinya bahkan kultur tradisi disini bisa dikembangkan sebagai salah satu sektor pariwisata yang dapat berdampak pada kunjungan wisatawan dari berbagai daerah lain. Dampaknya kan masyarakat juga nantinya sebagai pelaku wisata itu sendiri yang merasakanya’. Gelaran acara yang dihadiri Camat Tuntang, Kapolsek Tuntang, Danramil Tuntang, Pemdes Tuntang, SAR Buser, Tokoh agama, Tokoh Masyarakat serta warga dusun berjalan sesuai rencana dan berjalan sangat baik, sampai penghujung acara Camat beserta Forkopincam dan Jajaranya meninggalkan tempat pada pukul 10 : 30 Wib untuk melanjudkan kegiatan menghadiri acara yang menurut keteranganya dihari itu ada 3 jadwal agenda lagi yang harus dikunjunginya.

Diketahui Dusun Klurahan merupakan salah satu perdusunan kecil diwilayah administrasi Desa Tuntang, Kab Semarang, Jawa Tengah yang hanya dihuni sekitar 100an kepala keluarga saja dan pernah menghebohkan serta viral ditahun 2018an lalu. Dusun yang memiliki predikat mistis sekaligus mempunyai berbagai keunikan serta kearifan lokal dalam tradisinya, ternyata menyimpan sebuah potensi wisata yang mendunia. Mistis dan Mitos yang dikaitkan dengan adanya makam tua ditengah-tengah dusun oleh warga yang dinisbatkat sebagai makam Kyai Among Tani atau Kyai Imam Puro, yaitu seorang Tokoh dari Kasultanan Pajang sekaligus pengikut Sultan Hadi wijoyo atau Joko Tingkir yang bergelar Suryodiningrat sebagaimana cerita tutur yang berkembang dimasyarakat.

Setelah kekuasaan berpindah kepada Pangeran Benowo, Raden Suryodiningrat memilih berkelana meninggalkan atribut kasultanan dan mandito menjalani kesederhanaan sambil menyebarkan Agama Islam kepelosok-pelosok pedesaan hingga, sampailah beliau disatu perdusunan dipinggiran rawa pening yang karena sangat mengalami “Kelungkrahan” ( kecapekan/kelelahan ) jatuhlah sakit, warga dusun serta pengikutnya kemudian merawat beliaunya sampai beberapa hari dan selanjudnya beliau berwasiat ‘ jika meninggal nanti untuk dimakamkan ditengah atau pusat perdusunan ini ’ yang selanjudnya diberinama Dusun Klurahan.
Lokasi makam ditengah-tengah dusun atau oleh masyarakat disebut “Njaratan” dikemudian hari oleh seputaran masyarakat luar Dusun dikultuskan menjadi sebuah Mitos dan terus berkembang hingga berubah menjadi sebuah keyakinan, bahwa siapapun pejabat yang berani memasuki dusun klurahan akan dicopot jabatanya, bahkan bisa juga meninggal dunia jika bertujuan atau prilaku yang tidak baik.

Pengkultusan menjadi mitos yang diyakini sebenarnya tidaklah begitu diketahui sejak kapan berhembus ditengah Masyarakat pada umumnya, karena Masyarakat Dusun Klurahan sendiri awal mulanya tidak mengetahuinya. Sejarah makam tua Njaratan berikut cerita tuturnya yang berbeda-beda bahkan mitosnya sampai dengan hari ini belum ada satupun bukti primer maupun data empiris sesungguhnya makam siapa dan kapan makam tersebut ada, begitu pula bukti tentang pejabat yang dipecat maupun yang meninggal dunia setelah mengunjunginya. Hal tersebut tentu sangat diskriminatif karena menyebabkan keengganan pejabat untuk mau ataupun berani datang, yang tentu berdampak menghambat sebuah proses kemajuan.

Dusun yang kita semua ketahui atau sangat viral pada tahun 2018an hingga memikat ribuan orang untuk berbondong-bondong datang menyaksikan fenomena alam berupa rerumputan yang disebut sebagai Sabana Rawa Pening, fenomena alam lima tahunan disaat rawa pening mengalami kekeringan ekstrim antara bulan agustus sampai dengan desember pada waktu itu. Selain daripada Sabana Rawa Pening terkenal juga dengan adanya replika Menara Evel yang terbuat dari bambu pada tahun 2020an lalu dengan nama ‘Radesa’. Sangat disayangkan destinasi tersebut hanya bersifat temporer sehingga tidak begitu signifikan berdampak pada perekonomian warga dusun, apalagi pengelola Radesa hanya merupakan sebuah usaha kelompok perseorangan, sehingga warga kurang mendapat manfaat dari keberadanya. Hal tersebut tentu menjadi Pekerjaan Rumah dari pada pemerintah Desa Tuntang, mau dan tidaknya memanfaatkan potensi wisata yang ada di Dusun Klurahan untuk dijadikan destinasi wisata sebagai Rintisan Desa Wisata, sehingga benar-benar berdampak kepada Masyarakat serta dapat menjadi salah satu sektor peningkatan PA-Des ( Pendapatan Asli Desa ).

Liputan Tim Semarang,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *