Pengadilan Tinggi DK Jakarta membuat sebuah keputusan yang fenomenal: menguatkan vonis nihil atas terdakwa Benny Tjokro pada kasus korupsi di Asabri. Alasannya, Benny Tjokro sudah dijatuhi hukuman seumur hidup pada kasus sebelumnya, yaitu korupsi di Jiwasraya. Karena telah dijatuhi hukuman seumur hidup maka dipandang tidak ada lagi hukuman yang berada di atasnya.
Apa yang terjadi di atas memang adalah sebuah peristiwa di tahun lalu, namun aroma ketidak-adilannya masih terasa hingga saat ini. Seperti tampak dengan jelas bagaimana hukum menjadi sesuatu yang sarat dengan kompromi, penuh dengan hal-hal yang berada di luar koridor hukum itu sendiri. Lalu dimanakah keadilan?
Bicara tentang hukum maka adalah berarti juga bicara tentang keadilan, bicara tentang kesetaraan setiap orang di hadapan hukum. Itu adalah nilai-nilai ideal tentang penerapan hukum. Namun yang banyak terjadi adalah hal yang sebaliknya: ada banyak ketidak-adilan, tak sedikit kasus ketidaku-setaraan setiap orang di hadapan hukum. Bayangkanlah, kasus korupsi 22 Milyar harus dinihilkan oleh kasus korupsi senilai 7 Milyar. Aneh, bukan? Mungkin akan terlihat biasa jika keadaannya terbalik: kasus 7 Milyar dinihilkan oleh karena kasus 22 Milyar, karena memang telah mencapai maksimal perbuatan dan hukuman. Tetapi itulah yang terjadi, itulah fakta vonis yang telah dijatuhkan.
Rasanya kita telah capek bicara tentang ketidak-adilan hukum, tetapi anehnya ketidak-adilan hukum tak ada capeknya terus ada, terus berlangsung. Kita bosan tapi ketidak-adilan tak pernah bosan. Lalu apakah masalahnya yang paling mendasar? Banyak yang bilang bahwa sistem atau penerapan hukum yang terasa tidak adil itu bermula dari para jiwa yang bergelut di dunia hukum itu sendiri. Benar pendapat itu. Tapi sebenarnya apakah yang lebih spesifik dari para jiwa yang bergelut di dunia hukum itu? Rasanya ada dua hal, yaitu komitmen dan keberanian.
Penegak hukum pada lembaga peradilan pastilah dituntut untuk memiliki komitmen atas kinerjanya. Komitmen tersebut tentu berkaitan dengan penegakan keadilan yang sejati. Soal komitmen itu rasanya semua penegak hukum pada lembaga peradilan memilikinya. Semua punya dan semua sama besarnya. Tetapi pertanyaannya kemudian: apakah komitmen itu bisa dijalankan secara jujur, secara jernih? Tentu tidak semuanya. Ada hal-hal yang membuat komitmen itu tak berjalan sempurna. Salah satunya menyangkut keberanian.
Penegakan komitmen butuh keberanian, sebab memang begitu banyak risiko yang harus dihadapi. Bukan hanya risiko jabatan, bahkan pula risiko nyawa. Maka keberanian pun sangat dibutuhkan; bukan hanya keberanian menghadapi orang lain, tetapi juga adalah keberanian menghadapi diri sendiri. Banyak orang berhasil menunjukkan keberanian terhadap orang lain, pada saat yang sama banyak pula yang gagal menunjukkan keberanian terhadap diri sendiri. Jika situasinya sudah sampai di titik itu, maka mulailah bermain kompromi-kompromi hukum yang sejatinya merusak sistem hukum itu sendiri.
Pada kasus Benny Tjokro terasa aroma kompromi itu. Tentulah terlalu naif jika menuduh kompromi itu terjadi karena ‘ini’ atau karena ‘itu’. Ia ibarat angin, tak terlihat bentuk dan warnanya, tetapi kehadirannya terasa pada dedaunan yang bergoyang. Kompromi hukum di kasus Benny Tjokro tak jelas bentuk dan warnanya, tetapi ia terasa….karena telah menggoyangkan tiang keadilan hukum. ” Culpue poena par esto” Jatuhkanlah hujuman yg setempal bagi perbuatannya. Adv. Dr (C) M.Zarkasih, SH.,MH/ Advokat/Pembina Komenwa Indonesia/anggota Veteran RI.