Setidaknya ada 2 kejadian menyangkut soal hukum yang tengah ramai diperbincangkan oleh masyarakat. Pertama, turun tangannya Bareskrim Polri pada kasus Vina Cirebon, yang bisa dianggap sebagai pembuka lembaran baru kasus tersebut. Kedua, kejadian vonis bebas oleh hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya bagi Gregorius Ronald Tannur dalam kasus dugaan pembunuhan Dini Sera. Kedua hal itu mengusik naluri keadilan dan ketidak-puasan kita di dalam memandang hukum di Indonesia.
Bareskrim Polri terpaksa harus turun tangan setelah tersangka PS dibebaskan oleh Hakim tunggal dalam sidang pra-peradilan, lalu disusul oleh masifnya pengakuan baru dari para napi kasus Vina Cirebon yang tengah menjalani hukuman. Mereka mengaku tidak melakukan pembunuhan atas Vina dan Eky, dan pengakuan mereka di tahun 2016 terjadi karena adanya tekanan psikis dan fisik atas mereka oleh para oknum kepolisian Polresta Cirebon.
Bareskrim Polri tengah membuka kembali kasus Vina Cirebon dan Jaksa resmi mengajukan permohonan kasasi atas vonis bebas Gregorius Ronald Tannur dalam kasus dugaan pembunuhan Dini Sera, sehingga bukanlah waktu yang tepat jika kita membicarakan kedua kejadian itu secara kasuistis, karena tetap harus menunggu hasilnya. Yang bisa kita bicarakan adalah: bagaimana kedua hal itu bisa terjadi justru pada saat semua lembaga penegakan hukum di Indonesia tengah gencar menerapkan profesionalisme dan sistem hukum yang berkeadilan? Ketika Bareskrim Polri masuk ke dalam kasus Vina Cirebon tentulah bisa diduga ada satu sisi profesionalitas yang kurang berjalan pada institusi kepolisian di tingkat Polda dan Polres. Jika semua proses berjalan dengan baik dan profesional pastilah Bareskrim Polri tidak sampai harus turun tangan. Begitu pula dengan kasus bebasnya Gregorius Ronald Tannur dalam kasus dugaan pembunuhan Dini Sera. Jaksa tidak akan mengajukan permohonan kasasi jika menganggap hakim telah bekerja secara profesional dan berkeadilan.
Tentu terasa agak aneh jika masih saja ada oknum penegak hukum yang bekerja tidak profesional, sementara pada tataran di atas mereka tengah gencar melakukan dan menerapkan sistem hukum yang profesional dan berkeadilan. Para oknum penegak hukum yang kurang profesional itu laksana berada di dalam satu dunia tersendiri, yang “buta” akan keadaan di luar. Mereka dengan mudahnya mengorbankan diri, jabatan, pekerjaan, hanya untuk menyelesaikan sebuah kasus secara mudah, dengan menafikan nilai-nilai profesionalisme dan berkeadilan. Tiang penegakan hukum seolah menjadi goyah karena ulah mereka. Dan pada ujungnya, lagi-lagi kepercayaan masyarakat kepada institusi penegakan hukum pun menjadi goyah.
Tentu saja tidak ada solusi atau cara lain untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegakan hukum, selain institusi-institusi penegakan hukum itu menegakkan kembali ketegasan dan sikap profesionalisme secara internal, dengan berpegang kepada satu konsep: membuang satu, menyelamatkan seribu. Atau jika kita ingat kembali kepada ucapan Kapolri yang mengatakan “kalau tak mampu membersihkan ekor, maka kepalanya akan saya potong. Ini semua untuk kebaikan organisasi yang susah payah berjuang”.
Apa yang dikatakan oleh Kapolri itu sebenarnya bisa menjadi pegangan bagi semua institusi penegakan hukum di luar kepolisian. Sebab “kepala” bukan hanya mampu menggerakkan ekor, namun bisa pula menjadi pemicu bagi para ekor di dalam melakukan pergerakan yang keliru, pengambilan arah yang salah. Profesionalisme memang seharusnya diterapkan dan dijalankan oleh para atasan terlebih dahulu, sebelum kemudian para bawahan melakukannya. Kepala tak bisa memerintahkan ekor berbelok ke kanan jika kepalanya sendiri berbelok ke kiri. Teladan itu lahir dari atas dan kepercayaan masyarakat akan pulih kembali jika teladan itu dijalankan secara organisasi oleh setiap personal penegak hukum. DR (C) M.Zarkasih, SH.,MH / Advokat/ Ketua BPW Peradin Jkt/Pengamat Hukum UTA45/ pembina Komenwa Indonesia
Red”