PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja menuai polemik. Aturan ini menjadi kontroversial di saat salah satu pasal menyebutkan adanya penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar. DPR-RI telah memulai merespons PP tersebut, lewat sebuah penolakan yang masif. Dengan adanya PP tersebut dinilai mengizinkan atau memfasilitasi pelajar untuk berhubungan seksual di luar pernikahan.
Sebenarnya penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar bukanlah hal yang aneh di luar negeri, terutama di negara-negara maju dan berlandaskan Di California AS, fokus seks aman dalam RUU baru California menyediakan kondom gratis di sekolah umum. Lebih dari satu juta siswa California bisa mendapatkan akses mendapatkan kondom di sekolah. Berdasarkan undang-undang yang diperkenalkan tahun ini, kaum muda di California tidak perlu meminta izin untuk mengambil kondom di sekolah. Hal yang mirp juga terjadi di negara-negara Eropah. Persoalannya kemudian, apakah negara kita dengan begitu saja ikut mengadopsi sebuah peraturan yang diberlakukan di negara-negara lain, yang secara budaya, etika dan norma berseberangan dengan yang ada di negara kita?
Penolakan memang pada akhirnya tidak hanya datang dari parlemen, namun juga dari beberapa organisasi, terutama organisasi keagamaan. Ketua Umum PB Al Washliyah, Dr. H. Masyhuril Khamis, menanggapi polemik masyarakat terkait PP No 28 tahun 2024 mengenai peraturan pelaksanaan UU No 17 tahun 2023 tentang Kesehatan. PP No 28 tahun 2024 ini, yang telah ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada hari Jumat, 26 Juli 2024 lalu. Menurut Masyhuril Khamis, yang juga Ketua Pusat Dakwah dan Perbaikan Akhlaq Bangsa MUI Pusat, pasal tersebut akan membuka peluang untuk merusak akhlaq bangsa. Karena itu dia mengusulkan pasal tersebut dibatalkan atau dicabut, setidak-tidaknya direvisi karena menimbulkan gejolak di masyarakat, yang mayoritas muslim di Indonesia. Apa yang dikatan oleh Ketua Umum PB Al Washliyah Dr. H. Masyhuril Khamis sesungguhnya adalah sebuah pemikiran yang harus dipikirkan kembali oleh para ahli yang berada di balik terbitnya PP tersebut.
Pada sebuah negara seperti Indonesia, dimana elemen agama menjadi tiang terbesar di dalam membangun moralitas masyarakat, maka sebenarnya PP Nomor 28 Tahun 2024 tersebut memiliki nilai penentangan terhadap nilai-nilai agama itu sendiri. Jika PP tersebut diterapkan bagi pasangan yang telah menikah tentu saja bisa dianggap wajar, tetapi PP tersebut jelas-jelas diberlakukan kepada para pelajar yang notabene belum menikah, maka masalahnya pun menjadi berbeda. Bagaimana mungkin agama melarang hubungan di luar pernikahan sementara pada saat yang sama kita seolah “memberikan ijin” kepada para pelajar untuk melakukannya dengan syarat pakai alat kontrasepsi?
Sepertinya para pembuat PP Nomor 28 Tahun 2024 itu lupa bahwa di dalam hal hubungan seksual di antara pasangan yang belum menikah itu bukan hanya soal “pencegahan kehamilan” atau “pencegahan penyakit kelamin”, namun ada hal yang sangat salah jika melupakan hal lain yang justru jauh lebih penting lagi, yaitu nilai-nilai relijiusitas. Apakah agama sudah menyerah sehingga masalah perzinahan dengan begitu saja dilemparkan ke hal medis? Di satu sisi, PP Nomor 28 Tahun 2024 itu memang memiliki niat untuk menyelamatkan para pelajar, tetapi di sisi lain PP tersebut juga malahb terkesan ingin merusak moral para pelajar. Atau setidaknya, membiarkan mereka melakukan perusakan moral atas dirinya sendiri.
PP Nomor 28 Tahun 2024 itu bagaikan perumpamaan sederhana: boleh mencuri tetapi jangan sampai tertangkap. Tertangkap saat mencuri adalah sesuatu yang buruk, tetapi apakah “boleh mencuri” justru tidak lebih buruk lagi? DR(C) M.Zarkasih, SH.,MH/ Advokat/ Pengamat Hukum UTA45/ Pembina Komenwa Indonesia/Ka Pusdiklatda Kwarda Jakarta.
Red”