Jepang “butuh” kehancuran oleh bom atom di Hiroshima dan Nagasaki untuk bisa menemukan karakter bangsa yang ulet dan kuat. Amerika perlu “menyingkirkan” kaum Indian untuk bisa mendapatkan identitas sebagai sebuah bangsa. Lalu Indonesia butuh atau perlu moment apakah untuk bisa menemukan karakter yang khas bangsa Indonesia, yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain? Tak semua identitas dibentuk atau dilahirkan oleh sebuah moment, meski memang momentum itu penting sebagai pijakan awal sebuah perubahan.
Jika bicara tentang moment dalam konteks pembentukan karakter bangsa, mungkin Indonesia akan berangkat dari moment terbentuknya perkumpulan Boedi Oetomo di tahun 1908, yang kemudian menjadi embrio bagi lahirnya Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Ketiga moment di atas itu adalah sebuah rangkaian dari munculnya kesadaran akan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa, dalam situasi di bawah tekanan penjajahan. Dari sanalah kemudian kita di hari ini menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara dengan bentuk yang khas, berdasar pada perbedaan-perbedaan yang ada di Nusantara ini.
Lalu kenapa pula saat ini seperti muncul kekhawatiran dan kegamangan atas eksistensi karakter bangsa kita, terutama jika pembicaraan tentang hal itu memasuki wilayah generasi muda?
Adakah problem kita soal pembentukan karakter bangsa? Adakah kita makin kehilangan wajah hakiki dari karakter bangsa kita?
Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah pertanyaan umum yang sungguh tidak mudah untuk dijawab. Sebab akan lahir pula pertanyaan di balik itu, yaitu sebegitu rentankah karakter bangsa kita sehingga dengan mudah bisa menipis? Sungguh aneh bagi sebuah bangsa yang besar, di mana agama dan landasan negara telah ada dan dipatuhi, masih saja ada problematik seputar karakter bangsa.
Ya, masalah kita hari ini adalah soal pembentukan karakter bangsa, utamanya pada generasi muda. Kita paham bahwa generasi muda adalah sebuah bagian dari populasi bangsa ini yang sangat penting, terlebih jika membicarakan soal masa depan bangsa dan negara. Merekalah – para generasi muda itu — yang akan memegang kendali dan mengisi ruang dan waktu bangsa dan negara di masa depan. Jika saat ini karakter mereka mampu dibentuk atau dibangun dengan baik, maka niscaya akan baik pula nasib bangsa dan negara ini di masa depan. Sebaliknya, jika karakter mereka tidak dibangun dengan baik maka hampir bisa dipastikan bangsa dan negara ini akan berjalan menuju ke kehancuran.
Lalu dimanakah tempat atau wadah bagi terbangunnya karakter bangsa bagi generasi muda? Ada banyak tentu saja. Lewat olahraga, kebudayaan, pendidikan dan lainnya. Lewat olahraga pastilah generasi muda akan dibekali oleh ketangguhan, sportivitas juga kekuatan fisik dan mental. Mari kita ambil contoh salah satu jenis olahraga yang sangat berperan dalam membentuk karakter bangsa, yaitu *pencak silat*. Pencak silat adalah salah satu jenis olahraga beladiri yang akarnya berasal dari kebudayaan di tanah air. Karena berasal dari tanah air maka secara falsafah pun pencak silat sangatlah bernuansa Indonesia. Sebagaimana umumnya jenis olahraga beladiri, maka pencak silat juga mengajarkan tentang kekuatan dan ketangguhan fisik. Namun berbeda dengan jenis beladiri lain, pencak silat mengajarkan hal-hal yang sifatnya inner, seperti hati dan pikiran. Pada pencak silat diajarkan tentang sikap menjaga kehormatan dan martabat, penguatan karakter diri hingga pada sikap sportivitas. Maka pencak silat bukan lagi hanya dipandang sebatas wilayah perkelahian semata, tetapi justru lebih jauh lagi, yaitu sebagai wadah bagi pengajaran tentang hal-hal yang sifatnya pembentukan karakter positif.
Pada beberapa tahun terakhir kita memiliki kegelisahan tentang sekolah, yaitu apakah sekolah telah gagal membentuk karakter positif bagi para siswanya sehingga marak kejadian tawuran, kenakalan-kenakalan yang mengarah ke tindak kriminal? Sulit untuk mengeneralisir bahwa sekolah telah gagal sepenuhnya, karena memang hal-hal negatif yang melibatkan siswa sekolah hanyalah bersifat insidentil, baik tempat mau pun waktunya. Tetapi meski demikian harus diakui secara jujur bahwa pendidikan resmi di sekolah belum sepenuhnya mampu berperan di dalam pembentukan karakter positif. Minimal, para pengajar belum menemukan formula yang benar-benar tepat bagi pembentukan karakter positif. Lalu di bagian manakah di sekolah yang mampu membantu pembentukan karakter positif, jika pelajaran resmi dianggap kurang sempurna?
Di sekolah-sekolah ada berbagai macam kegiatan ekstra kulikuler, seperti misalnya kepramukaan. Nah, pada kegiatan kepramukaan inilah para generasi muda dapat menemukan jatidiri yang sesuai dengan karakter khas bangsa Indonesia. Sebagai memang kegiatan kepramukaan bisa dianggap sebagai sebuah kegiatan yang paripurna secara bentuk; ada kegembiraan, kegagahan, keseriusan, kepedulian, kasih sayang terhadap sesama, toleransi atas segala bentuk perbedaan. Di antara semua itu, tentu saja ada unsur ketangguhan, keberanian, sportivitas, kejujuran dan kebesan hati atau legawa. Dari semua itu tentu saja akan ditemukan nilai-nilai karakter bangsa yang unik dan positif milik bangsa Indonesia. KBP(P) DR(C) M.Zarkasih, SH.,MH.MSi/ Pelatih Pembina Pramuka/ pembina Komenwa Indonesia /Advokat Indonesia
Red”