September 8, 2024

Polda Jawa Barat merilis tiga nama pada daftar pencarian orang (DPO) untuk kasus Vina Cirebon. Tak lama satu nama ditangkap dan dijadikan tersangka, yaitu Pegi Setiawan(PS) Setelah itu bermunculan hal-hal yang dianggap janggal; dari mulai proses penangkapan dan penetapan status tersangka terhadap PS hingga hilangnya dua nama yang masuk dalam DPO.

Pada perjalanan berikutnya, hakim tunggal Eman Sulaeman pada sidang praperadilan yang diajukan oleh pengacara PS memutuskan pencabutan status tersangka pada PS oleh karena proses penangkapan dan penetapan status tersangkanya dianggap tidak sesuai prosedur. Maka di masyarakat kemudian muncul sebuah kesimpulan: PS menang, Polisi kalah.

Persoalannya memang bukan soal kalah atau menang, tetapi justru ada hal yang jauh lebih penting lagi, yaitu seberapa tinggi tingkat profesionalisme para penyidik di Polda Jabar di dalam proses pengungkapan kasus Vina Cirebon? Apakah mereka benar-benar telah menerapkan scientific crime investigation (SCI) seperti yang diminta oleh Kapolri saat Polda Jabar mengambil alih kasus itu dari Polresta Cirebon dan membuka kembali proses penyelidikan dan penyidikan? Dua pertanyaan yang di rasa sangat menohok dan terasa pahit, justru pada saat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri sedang meningkat. Maka tak heran jika profesionalisme dan slogan Presisi Polri dipertanyakan kembali oleh masyarakat.

Jika kita lihat lagi sejenak bagaimana riuhnya kasus Pegi Setiawan (PS), dengan segala dramanya itu, maka terlihat jelas memang bagaimana tim penyidik dari Polda Jabar berusaha mati-matian membuktikan bahwa PS memang layak dijadikan tersangka. Ada banyak bukti dibeberkan di media, yang seharusnya hanya boleh diungkap di pengadilan, bahkan seorang Kadiv Humas Mabes Polri pun yang berpangkat bintang dua harus pula masuk ke dalam drama itu. Misalnya di media menunjukkan foto Pegi di masa lalu, yang oleh banyak kalangan dianggap tidak memiliki korelasi yang jelas dengan kasus Vina. Pada sisi ini, kita menilai bahwa tim penyidik Polda Jabar telah “mempermalukan” Mabes Polri.

Baiklah, kita berharap setelah ini pihak Propam Polri akan bekerja untuk menginvestigasi secara intern para anggota yang dinilai bekerja kurang professional. Yang juga penting untuk dibicarakan saat ini adalah tentang sejauh mana Polri menerapkan profesionalisme dan selektivitas yang ketat di dalam proses rekruitmen para anggota polisi, termasuk juga sejauh apa efektivitas proses pendidikan terhadap para calon anggota Polri itu. Kedua hal itu , yaitu rekruitmen dan pendidikan adalah menjadi hal paling pokok bagi perjalanan karir seorang anggota polisi. Jika keduanya berjalan baik maka akan lahirlah anggota-anggota polisi yang profesional dan bertanggung jawab ( garbage in, garbage out), namun sebaliknya, jika kedua proses itu tidak berjalan dengan baik maka niscaya kepolisian akan disusupi oleh beberapa anggota yang kemampuannya sangat menyedihkan/ memprihatinkan ( seperti saat ini).

Dalam beberapa fakta kita bisa melihat betapa profesionalisme Polri agak terusik, misalnya beberapa bidang yang seharusnya menjadi tupoksinya Polri justru seakan “diambil alih” sepenuh nya oleh institusi lain. Misalnya penanganan korupsi dipegang oleh KPK atau soal narkoba ditangani oleh BNN, Harus diakui dengan jujur bahwa lahirnya KPK atau BNN pastilah lahir dari sikap kekurangpercayaan terhadap Polri. Meski pun pada faktanya terjadi juga penyimpangan di KPK ,BNN dan Kementrian/Lembaga Tak ada yang sempurna.

Lalu apakah dengan terjadinya kasus PS ini tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri telah jatuh sama sekali di titik paling rendah? Rasanya tidak. Mungkin memang profesionalisme Polri agak goyah karena kasus PS, tetapi kita harus lihat dari sisi lain yang berbeda, bahwa bisa saja kasus bebasnya PS dianggap sebagai bagian dari usaha Polri untuk lebih memprofesionalkan diri. Setidaknya, Polri telah dengan sangat baik mematuhi hukum yang berlaku, dengan menerima keputusan sidang praperadilan yang membebaskan PS.

Pada akhirnya, kasus PS adalah sebuah pembelajaran penting bagi semua kalangan; anggota Polri dan masyarakat. Bagi anggota Polri, kasus bebasnya PS harus bisa dijadikan pijakan untuk setiap anggota Polri bekerja secara lebih profesional, sehingga tak lagi muncul kasus salah tangkap dan penetapan status tersangka secara sembrono dan terburu-buru. Sedangkan bagi masyarakat, kasus bebasnya PS bisa dilihat sebagai semangat kuat Polri menerapkan sikap profesionalisme para anggotanya. Polri “membiarkan” sidang pra peradilan menghukum para anggotanya yang bekerja secara keliru dan tidak membelanya secara membabibuta. Ini hal yang sangat pahit memang, namun sebagaimana obat, maka rasa pahitnya akan memberikan kesembuhan, akan memberikan kesehatan kembali.
Polri memang sedang berada di titik nadir.
Kita percaya, Polri akan sembuh lagi, akan sehat lagi. Jauh lebih sehat dari yang kita lihat sekarang. Semoga.
*Adv.M.Zarkasih,SH ,MH.MSi*/ Pengamat Sosbudkum/Pembina Komenwa Indonesia/Pengacara PERADIN ( PBHMPN /MZ Partners).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *