Tangerang – Kasus pembubaran peribadatan kembali terjadi, kali ini menimpa Mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (UNPAM) yang melaksanakan ibadah Rosario.
Video dan narasi-narasi terkait peristiwa tersebut viral di berbagai platform, baik media sosial maupun media arus utama.
Menyikapi insiden itu, Ir. Soegiharto Santoso, SH menyampaikan, tindakan tersebut sangat merusak nilai-nilai toleransi dalam beragama.
Sekretaris Jenderal Perkumpulan Advokat Teknologi Informasi Indonesia (PERATIN), dan Pendiri Portal Guetilang sekaligus sebagai Tenaga Ahli Sinergitas Bidang Kemitraan Warung NKRI Digital BNPT RI itu juga memberikan dukungan atas kegiatan yang dilakukan pihak SETARA.
“Catatan yang disampaikan oleh SETARA Institute adalah sebagai bentuk perhatian kita bersama. Pada intinya tindakan-tindakan yang bisa memecah belah antar umat beragama adalah pelanggaran hukum berat, dan para provokator harus di proses sesuai undang-undang yang berlaku,” jelas Hoky sapaan akrab Soegiharto yang juga menjabat Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (APTIKNAS) dalam keterangan tertulisnya, Jumat (10/5/2024) di Jakarta.
Sementara, peristiwa tersebut menurut Halili Hasan sebagai Direktur Eksekutif SETARA Institute, sudah jelas menunjukkan pelanggaran terhadap Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB). Serta memperlihatkan lemahnya ekosistem toleransi di tengah keragaman Indonesia.
“Kejadian ini memperkuat fakta bahwa pelanggaran KBB dan gangguan terhadap tempat ibadah masih terjadi secara berulang. Data Setara Institute menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tahun 2007-2022, telah terjadi 573 kasus gangguan terhadap tempat ibadah dan peribadatan di Indonesia,” kata Halili dalam keterangan tertulisnya pada Selasa (7/5/2024).
Terkait peristiwa tersebut, SETARA Institute menyampaikan beberapa catatan sebagai berikut :
Pertama, SETARA Institute menilai bahwa peristiwa tersebut merupakan pelanggaran atas Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) sekaligus cerminan dari lemahnya ekosistem toleransi di tengah tata kebinekaan Indonesia.
Kasus ini mempertegas bahwa situasi pelanggaran KBB stagnan serta gangguan atas tempat ibadah dan peribadatan masih terus terjadi. Data SETARA Institute menunjukkan, dalam periode tahun 2007-2022 terdapat 573 kasus gangguan terhadap tempat ibadah dan peribadatan yang terjadi di Indonesia.
Kedua, kasus pembubaran ibadah Rosario Mahasiswa Katolik UNPAM menunjukkan bahwa intoleransi dan kebencian terus menjadi ancaman terhadap hak atas KBB yang secara konstitusional harus dijamin oleh negara dan pemerintah.
Dalam kasus pembubaran rosario di Unpam, ada dua faktor utama yang mendorong pembubaran, yaitu intoleransi di kalangan masyarakat dan kegagalan elemen negara, dalam konteks ini RT/RW sebagai unsur negara di tingkat terkecil, di ranah masyarakat, untuk menjamin hak seluruh warga atas KBB.
Ketiga, upaya pihak kepolisian untuk mendamaikan para pihak mesti kita apresiasi. Namun demikian, kepolisian perlu memastikan adanya dugaan tidak pidana yang terjadi. Penegakan hukum atas kasus-kasus persekusi penting untuk dilakukan, untuk mencegah perluasan persekusi dan pelanggaran KBB.
Dalam pemantauan SETARA Institute selama ini, lemahnya penegakan hukum sering terjadi berkenaan dengan pelanggaran KBB dan secara umum menjadikan kelompok minoritas sebagai korban.
Keempat, SETARA Institute mendorong seluruh pihak untuk menahan diri. Narasi-narasi lanjutan terkait peristiwa yang mereproduksi kebencian dan menaikkan tensi konfliktual mesti dihentikan.
Para pihak diharapkan untuk melakukan upaya-upaya cooling down. SETARA Institute juga mendesak para pihak untuk menolak politisasi terkait kasus tersebut dalam rangka dinamika elektoral, khususnya terkait Pilkada pada November 2024 mendatang.
Selain itu, SETARA Institute mendesak Pemerintah untuk melakukan tindakan lanjutan yang dibutuhkan, seperti penanganan korban, jaminan perlindungan hak atas KBB, dan penegakan hukum atas tindak kekerasan yang terjadi.
Kelima, berkenaan dengan banyaknya kasus pembubaran, persekusi, dan pelanggaran-pelanggaran lain atas KBB, agenda besar yang harus menjadi perhatian bersama yaitu membangun ekosistem toleransi di tingkat masyarakat.
Ekosistem toleransi ini mesti dibangun dengan prakarsa kepemimpinan politik, yang mana walikota dan seluruh kepemimpinan politik mesti memberikan perhatian untuk agenda pemajuan toleransi.
Di samping itu, diperlukan inisiatif dan kepemimpinan birokrasi, termasuk birokrasi di tingkat Kecamatan dan RT/RW. Lebih dari itu, pembangunan ekosistem juga membutuhkan prakarsa dan kepemimpinan sosial.
Seluruh elemen masyarakat terkait, baik dalam bentuk entitas resmi seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Forum Pembauran Kebangsaan (FPK), dan Majelis-Majelis Keagamaan, maupun komunitas-komunitas sosial di berbagai bidang, seperti kebudayaan tradisional, kesenian, dan sebagainya, mesti terlibat dalam pembangunan ekosistem toleransi. (**)