Beranda blog Halaman 18

Republik Keledai

_Oleh: Dominggus Elcid Li_

Kupang – Pekik Merdeka yang seharusnya lantang untuk disuarakan, kini semakin sayup-sayup terdengar. Nasionalisme populer hanya laku dalam sepakbola. Merah-putih hanya jadi tontonan. Selebihnya merah-putih hanya jadi simbol-simbol kaku yang jauh dari semangat revolusi anti kolonialisme dan anti imperialisme.

Kok bisa di tahun 2025, dan belum lagi satu abad, roh orang merdeka seakan hilang dari wajah para elit? Pertanyaan ini mengganggu banyak kalangan. Sudah pasti kalangan TNI yang patriotik nada getirnya juga sama dengan para aktivis masyarakat sipil yang sama-sama gamang karena proses bernegara kita kembali ke titik gamang. Rasa gamang adalah ungkapan kekecewaan terhadap tidak berfungsinya berbagai lembaga negara untuk menghasilkan kebijakan publik terbaik, sebaliknya malah memalukan kita secara kolektif.

*Salah di Mana?*

Di era modern, kaum terdidik bukan menjadi pionir dalam bernegara, jauh sebelum Boedi Oetomo, elit pribumi terdidik ada dalam organisasi modern KNIL. Ya, serdadu.

Kaum terdidik hanya menjadi provokator utama anti kolonial, maupun negosiator utama dalam perundingan-perundingan transisi awal di era dekolonisasi, berhadapan dengan pemerintah Belanda, Inggris, AS, serta sekian korporasi multinasional yang sudah beroperasi di Hindia Belanda sejak abad 18. Selanjutnya peran elit pemikir makin berkurang di era Soeharto. Sejak itu tentara mendapatkan panggung utama hingga hari ini di era Prabowo.

Namun ini bukan semata soal tentara vs sipil, seperti salah kira yang pernah dibayangkan di tahun 1990an, bahwa dikotomi sipil-militer akan berdampak banyak pada model pengelolaan negara. Setelah satu generasi berlalu kita juga maklum bahwa tentara yang korup tidak ada bedanya dengan sipil yang rakus. Urusan elit lapar ini tidak ada bedanya antara tentara, polisi, sipil, kaum beragama, pedagang tulen, atau profesional terdidik. Rakus ya, rakus tidak pandang bulu, ras, agama, dan etnis.

Efisiensi anggaran yang sedang dibuat oleh Presiden Prabowo gaungnya belum senada dengan gerak pemberantasan korupsi. Terlihat Presiden Prabowo gamang memberantas korupsi di tubuh anggota Koalisi Merah Putih. Budaya lama yang dibawa dalam rombongan gerbong politik sulit dihilangkan begitu saja dengan seruan atau ancaman. Kanker ganas korupsi yang melilit para elit saat ini adalah alasan keberadaan para elit sendiri. Ibarat kata seruan anti korupsi adalah seruan untuk melakukan amputasi kekuasaan politik itu sendiri.

Inti elit negara saat ini teramat keropos. Kelihatan ‘ada’ pada saat upacara kenegaraan, tetapi apa yang disebut negara itu sendiri semakin kehilangan makna. Gerak berpolitik, tanpa diimbangi dengan disiplin berpikir telah membuat seluruh proses bernegara diseret oleh proses bernegosiasi dalam sekian rantai kekuasaan. Akibatnya alat-alat negara yang dikuasai oleh para ‘pemenang Pemilu’ dengan leluasa dipakai sebagai alat bancakan.

*Tantangan Mempertahankan Republik*

Salah urus negara terjadi sekian lama, dan proses pembusukan telah terjadi hingga jenjang elit inti (core elites) negara. Jenjang kaderisasi dalam menghasilkan inti elit negara dibiarkan longgar sedemikian rupa, sehingga pejabat terpilih hanya didasarkan pada garis primordial (hubungan darah), atau yang mempunyai loyalitas buta. Ini berbeda sekali dengan cita-cita republik.

Dalam rentang 80 tahun berbagai cara diupayakan untuk mempertahankan narasi republik. Salah satu yang paling utama muncul lewat jargon NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Ungkapan NKRI hanya muncul untuk mencegah pemberontakan, tetapi tidak dipakai untuk memberantas koruptor dan para penyeleweng negara.

Refleksi terhadap kekalahan rakyat dalam bernegara perlu menjadi bagian dari motif kekuasaan politik. Kebijakan pengetatan anggaran di segala lini, tidak mungkin ada efeknya jika korupsi dibiarkan. Termasuk proyek-proyek atas nama negara yang marak dan dibuat tanpa melibatkan akal sehat.

Saat ini terasa arus berlawanan dalam tubuh Kabinet Merah Putih itu sendiri yang membuat lokomotif berjalan di tempat. Presiden berujar tindak tegas koruptor. Menteri berbicara bahwa korupsi hanya bisa dikurangi, dan bukan diberantas tuntas. Bagaimana memurnikan Koalisi Merah Putih, sebagai lokomotif anti korupsi merupakan pertanyaan utama. Posisi patriot harus terus dimunculkan, dan watak predator pemangsa harus dihilangkan. Posisi ambivalen tidak mungkin diteruskan, jika ingin bergerak. Syaratnya, watak itu perlu diterjemahkan dalam gerak politik terukur.

Keberanian Presiden Prabowo untuk mengambil langkah strategis dalam memecah kebuntuan bernegara ditunggu, terutama untuk memutuskan ‘kenyataan politik’ bahwa dalam 80 tahun bernegara, elit Indonesia nasibnya selalu seperti keledai. Tersebab dungu dan tidak mau belajar, hingga selalu jatuh di lubang yang sama.

_Penulis adalah Sosiolog, peneliti IRGSC (Institute of Resource Governance and Social Change)_

Ekonomi Pancasila Bermula dari Koperasi

_Oleh: Yudhie Haryono & Agus Rizal_

Jakarta – Dari mana mula ekonomi Indonesia? Dari Koperasi (dengan K besar). Apa lembaga utama keekonomian kita? Jawabannya jelas Koperasi (dengan K besar). Karena itu, menghidupkan koperasi dan membuatnya sebagai soko guru perekonomian nasional adalah keniscayaan, cita-cita bernegara, mandat konstitusi sekaligus antiteasa dari sistem keekonomian lainnya. Tanpa koperasi, republik ini tak layak disebut Negara Pancasila. Ya, sebab Negara Pancasila itu adalah: dari koperasi, oleh koperasi dan untuk koperasi.

Ini penting. Paling penting. Sebab, di tengah derasnya arus globalisasi dan liberalisasi pasar, ekonomi Indonesia tampak seperti kapal besar yang tengah menavigasi tantangan besar tanpa arah ideologis: buram sejarah, miopik serta alpa kejeniusan. Yang ada, negara tidak hadir sebagai regulator maupun pemain yang menang, korporasi justru tumbuh sebagai kekuatan dominan, dan warga-negara menjadi objek dalam sistem yang mereka sendiri tidak kuasai. Pertanyaan mendasarnya, “siapa sebenarnya yang memiliki dan mengendalikan ekonomi nasional? Apakah ekonomi ini masih milik Indonesia, atau telah terlepas ke tangan segelintir pemilik modal dan kekuatan asing?”

Untuk menjawabnya, kita harus menengok kembali pada gagasan-gagasan asli para arsitek ekonomi bangsa: Mohammad Hatta, HB IX, Soemitro Djojohadikusumo dan Mubyarto. Empat nama besar ini mewakili spektrum pemikiran ekonomi Indonesia, dari warga-negara ke negara hingga ke pasar. Dan dari keemapatnya, kita menemukan benang merah yang penting serta sebangun: ekonomi harus melayani warga-negara, mengutamakan kepentingan nasional dan memastikan kedaulatan bangsa. Dus, ekonomi pancasila itu bersendi pada kemandirian, keberlanjutan, humanitas, kegotong-royongan, keadilan sosial, dan peradaban.

Mohammad Hatta, sejak awal dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia, melihat ekonomi nasional bukan sebagai alat untuk akumulasi modal, tetapi sebagai sarana pembebasan warga-negara. Koperasi bagi Hatta bukanlah organisasi dagang biasa, melainkan bentuk perjuangan, organ perlawanan pada kolonial, antitesa sistem kapitalisme. Koperasi merupakan sistem produksi dan distribusi yang adil, partisipatif, dan menjunjung tinggi nilai kekeluargaan. Dalam kerangka berpikir Hatta, koperasi adalah jalan untuk mewujudkan sila kelima Pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Baginya, jika koperasi tidak diperkuat, maka ekonomi Indonesia akan dikuasai oleh kapitalisme asing, dan warga-negara akan kembali menjadi penonton.

Sementara itu, HB IX dan Mubyarto datang dengan pendekatan terstruktur, sistematis dan massif (TSM). Keduanya membawa disiplin perencanaan pembangunan ekonomi makro dengan orientasi pemerataan. Mereka membangun institusi perencana, merumuskan pembangunan lima tahun, dan menjaga stabilitas ekonomi nasional dengan kerangka yang logis, terukur dan terencana. Dari keduanya kita mendapati filosofi ekonomi pancasila sebagai landasan dan praktik keuangan nasional (perbangkan) sebagai alat strategis untuk menyalurkan kebijakan fiskal dan pembiayaan pembangunan.

Berbeda dengan ketiganya, Soemitro Djojohadikusumo memosisikan diri sebagai ekonom realistis-pragmatis. Ia tidak menutup pintu pada modal asing atau korporasi swasta besar, selama mereka bisa dijadikan alat untuk mempercepat industrialisasi dan pembangunan nasional. Baginya, ekonomi adalah alat kekuasaan. Ia percaya bahwa negara harus memiliki kekuatan di pasar, dan bahwa pembangunan harus digerakkan oleh institusi yang efisien dan berdaya saing, entah itu BUMN, bank negara, atau perusahaan nasional lainnya. Meskipun koperasi bukan fokus utama dalam pikirannya, Soemitro tetap melihat pentingnya membangun kekuatan ekonomi nasional yang bisa mandiri dan tidak tergantung.

Dalam konteks kekinian, Indonesia memiliki instrumen strategis yang sangat berdaya: HIMBARA. Mereka bisa diandalkan dalam usaha menyehatkan ekonomi kita serta menghalau krisis. Bank-bank milik negara seperti BRI, Mandiri, BNI, dan BTN telah menunjukkan kemampuan adaptasi yang tinggi dalam era digital, ekspansi layanan, serta mendukung program nasional seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR). Peran mereka sangat sentral dalam menopang sistem keuangan dan pembiayaan nasional, termasuk bagi pelaku UMKM. Justru dengan kekuatan dan jangkauan mereka saat ini, HIMBARA memiliki potensi besar untuk mengambil peran lebih dalam memperkuat ekonomi rakyat berbasis kolektif yaitu koperasi.

BRI, misalnya, yang memiliki sejarah sebagai Bank Rakyat Indonesia, bisa memperluas kembali dukungannya terhadap koperasi produksi, koperasi tani dan nelayan, hingga koperasi digital. Kemitraan strategis antara HIMBARA dan koperasi tidak hanya mungkin, tetapi harus dirancang ulang sebagai sinergi antara kekuatan negara dan kekuatan warga-negara. Inilah saatnya HIMBARA bukan hanya menjadi penyedia kredit, tapi juga pembentuk ekosistem ekonomi berbasis komunitas dan kedaulatan lokal. Dari bank, oleh koperasi dan untuk warga-negara. Inilah road-mapnya.

Maka, dalam kerangka inilah muncul gagasan strategis untuk menjembatani nilai-nilai keadilan sosial ala Hatta, pendekatan TSM ala HB IX dan Mubyarto, serta strategi kekuasaan ala Soemitro. Pikiran keempatnya disatukan dalam jalan ekonomi baru yaitu: jalan Koperasi Merah Putih.

Di sini, Koperasi Merah Putih bukanlah koperasi dalam pengertian lama. Ia bukan hanya koperasi simpan pinjam, koperasi sekolah, atau koperasi seremonial. Ia adalah entitas ekonomi warga-negara yang dibangun secara modern, profesional, dan berbasis digital. Ia terhubung dengan HIMBARA, difasilitasi negara, dan disiapkan untuk bersaing dalam rantai pasok global. Koperasi Merah Putih bergerak di sektor pangan, energi, teknologi, perikanan, logistik, bahkan fintech dan ekspor-impor. Ia bukan simbol masa lalu, tetapi kendaraan masa depan. Metoda, lembaga dan agensi canggih demi Indonesia raya dan jaya.

Dalam format ini, koperasi bukan sekadar alat bantu, tapi menjadi aktor utama. Warga-negara tidak lagi sekadar pasar, tetapi pemilik dan pelaku utama ekonomi (lokal, regional, nasional dan internasional). HIMBARA menjadi mitra utama koperasi, bukan kompetitor. Negara kembali menjalankan fungsinya sebagai pengarah, bukan hanya fasilitator dan regulator. Dan, kekuatan ekonomi nasional benar-benar tumbuh dari bawah ke atas, dari warga-negara, oleh warga-negara, untuk kedaulatan bangsa, kemodernan negara serta peradaban semesta pancasila.

Saatnya Indonesia kembali ke rumah besar negara-bangsa. Bukan rumah yang dibangun oleh pasar bebas maupun modal asing, tapi rumah yang dibangun oleh nilai-nilai gotong royong, kemandirian, dan solidaritas ekonomi. Rumah itu bernama Koperasi. Dan, dalam wajah baru yang lebih tangguh, profesional, dan berdaulat itulah kita sebut “Koperasi Merah Putih.” Ayok berani, lakukan, segerakan, kini bukan nanti.(*)

_Penulis: Yudhie Haryono (CEO Nusantara Centre) dan Agus Rizal (Ekonom Universitas MH Thamrin)_

Keberadaan SMA SIGER, Bunda Eva Tuai Apresiasi Nasional: Wilson Lalengke Dukung Langkah Pro-Rakyat

Bandar Lampung — Wali Kota Bandar Lampung, Eva Dwiana, kembali menorehkan langkah progresif dalam dunia pendidikan. Melalui pendirian SMA SIGER (Sekolah Integrasi Gratis Eva-Rakyat), Pemerintah Kota bertekad menampung anak-anak dari keluarga tidak mampu agar tetap dapat melanjutkan pendidikan secara gratis dan bermartabat.

“SMA SIGER kita dirikan untuk anak-anak kita yang tidak mampu secara finansial. Ini bukan soal saingan sekolah, tapi soal keberpihakan kepada rakyat. Tidak boleh ada anak yang putus sekolah hanya karena tidak punya uang,” tegas Bunda Eva, sapaan akrab Wali Kota, dalam keterangannya di Bandar Lampung, Selasa (15/7/2025).

Sekolah yang dibangun dengan pendekatan gotong-royong dan dukungan penuh pemerintah daerah ini, tidak hanya membebaskan biaya SPP, tetapi juga menyediakan fasilitas penunjang seperti seragam, buku, dan program pembinaan karakter.

Langkah berani dan menyentuh ini mendapat apresiasi dari berbagai kalangan, termasuk dari Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd., M.Sc., M.A, yang juga merupakan Alumni PPRA-48 Lemhanas RI tahun 2012.

“Kami dari PPWI Nasional menyatakan dukungan penuh terhadap langkah mulia Ibu Wali Kota Eva Dwiana. Mendirikan SMA SIGER adalah bentuk nyata kehadiran negara di tengah kesenjangan pendidikan. Ini seharusnya menjadi contoh bagi kepala daerah lain di seluruh Indonesia,” ujar Wilson Lalengke kepada awak media, Selasa (15/7/2025).

Wilson, yang juga dikenal sebagai pegiat literasi dan tokoh nasional dalam isu-isu pendidikan rakyat, menambahkan bahwa gerakan ini sejalan dengan cita-cita kemerdekaan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa diskriminasi ekonomi.

“Langkah ini bukan hanya mendidik, tetapi juga memanusiakan. PPWI siap ikut mengawal dan menyosialisasikan SMA SIGER ke seluruh pelosok Kota Bandar Lampung, bahkan ke tingkat nasional,” pungkasnya.

Dukungan dari berbagai tokoh nasional menunjukkan bahwa gerakan pendidikan rakyat seperti SMA SIGER bukan sekadar program lokal, melainkan gerakan moral untuk membuka masa depan anak bangsa tanpa sekat ekonomi.

Pemkot Bandar Lampung melalui Bunda Eva menegaskan bahwa keberadaan SMA SIGER bukan hanya solusi jangka pendek, tetapi akan terus dikembangkan sebagai bentuk komitmen jangka panjang dalam menciptakan sistem pendidikan yang adil, inklusif, dan bermutu. (TIM/Red)

Tim SIRI Kejaksaan Agung Berhasil Amankan DPO Agus Sudirman Perkara Pemalsuan Surat

Selasa, 15 Juli 2025 bertempat di Jl. Sunter Mas Utara Raya, Jakarta Utara, Tim Satgas Intelijen Reformasi dan Inovasi (SIRI) Kejaksaan Agung berhasil mengamankan buronan yang masuk ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) asal Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.

Identitas Buronan yang diamankan, yaitu:
Nama/Inisial : Agus Sudirman
Tempat lahir : Banyuwangi
Usia/Tanggal lahir : 79 Tahun / 10 Januari 1946
Jenis kelamin : Laki-laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Katolik
Pekerjaan : Swasta (Komisaris BPR Restu Dana)
Alamat : Jl. Kapten Ilyas No.45, RT 001/RW 003, Kelurahan Singonegaran, Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur

Terpidana Agus Sudirman telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”memakai surat atau akta palsu yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu yang apabila digunakan menimbulkan kerugian”.

Akibat perbuatan tersebut, kerugian yang ditaksir mencapai Rp15 miliar. Oleh karena perbuatannya, Terpidana dijatuhi dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun.
Saat diamankan, Terpidana Agus Sudirman bersikap kooperatif, sehingga proses pengamanan berjalan dengan lancar. Selanjutnya, Terpidana dititipkan sementara di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk diserahkan kepada Tim Jaksa Eksekutor Kejaksaan Tinggi Jawa Timur untuk proses eksekusi.

Jaksa Agung meminta jajarannya untuk memonitor dan segera menangkap buronan yang masih berkeliaran, guna dilakukan eksekusi demi kepastian hukum. Jaksa Agung mengimbau kepada seluruh buronan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Kejaksaan RI, untuk segera menyerahkan diri dan mempertanggung-jawabkan perbuatannya karena tidak ada tempat bersembunyi yang aman bagi buronan.

Jakarta, 15 Juli 2025
KEPALA PUSAT PENERANGAN HUKUM

Red”Dr. HARLI SIREGAR, S.H., M.Hum.

Jembatan Rp9 Miliar Mangkrak di Ketapang, Pengamat Sorot Dugaan Addendum Fiktif dan Skandal Korupsi

Pontianak, Kalimantan Barat – 15 Juli 2025

Proyek pembangunan Jembatan Rangka Baja di Kecamatan Jelai Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, senilai Rp9.028.217.000 yang didanai dari APBD dilaporkan mangkrak total. Sorotan tajam datang dari pengamat kebijakan publik dan infrastruktur, Dr. Herman Hofi Munawar, yang menyebut proyek tersebut sebagai “proyek siluman” dan menyimpan indikasi kuat praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

Dalam pernyataan resminya pada Senin (15/7), Dr. Herman mengungkap bahwa proyek yang ditangani oleh CV. “AP” tersebut kini hanya menyisakan puing-puing besi berkarat dan reruntuhan berlumut. Mirisnya, proyek ini telah mengalami tiga kali addendum yang patut diduga dilakukan secara tidak sah.

Secara hukum, addendum memang dimungkinkan jika memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Perpres No. 12 Tahun 2021, misalnya karena kondisi teknis atau force majeure. Namun, dalam konteks proyek ini, dengan melihat fakta-fakta fisik dan kegagalan realisasi, kemungkinan besar addendum tersebut tidak sah, bahkan terindikasi fiktif dan melawan hukum,” tegas Dr. Herman.

Ia mendesak agar Direktorat Kriminal Khusus (Krimsus) Polda Kalbar segera mengungkap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kemacetan proyek strategis ini, mulai dari pejabat pengambil keputusan, tim pengawas, hingga pihak kontraktor pelaksana.

Publik menuntut kejelasan penegakan hukum. Sudah lama proyek ini mati suri sejak Desember 2024 tanpa ada kejelasan penindakan,” kata Herman.

Jembatan yang seharusnya menjadi penghubung vital bagi masyarakat Jelai Hulu itu kini menjadi monumen kegagalan pembangunan. Warga mengaku harus menyeberangi sungai secara manual, bahkan anak-anak sekolah terpaksa berenang, menempatkan nyawa mereka dalam bahaya setiap hari.

Dr. Herman menyebut proyek ini berpotensi kuat masuk dalam ranah pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, terutama jika terbukti terjadi manipulasi dokumen, mark-up anggaran, gratifikasi, atau rekayasa addendum. Dugaan kerugian negara diperkirakan mencapai puluhan miliar rupiah, jauh di atas nilai kontrak awal.

Proyek ini tidak hanya gagal secara teknis, tapi juga menyisakan trauma sosial bagi warga. Ini bentuk kelalaian negara yang sangat fatal,” ujarnya.

Lokasi proyek sendiri ironisnya terletak tidak jauh dari kantor kecamatan, Polsek, dan Koramil. Publik pun mempertanyakan bagaimana proyek semacam ini bisa dibiarkan mangkrak di bawah pengawasan aparat dan instansi terkait.

Masyarakat Jelai Hulu mendesak agar Polda Kalbar segera menangkap dan mengadili semua pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam proyek tersebut, termasuk jika terdapat oknum ASN, konsultan pengawas, atau pihak ketiga lainnya.

Ini bukan sekadar proyek gagal. Ini korupsi terang-terangan. Uang rakyat hilang, akses desa lumpuh, nyawa anak-anak dipertaruhkan. Harus ada penangkapan dan pengembalian kerugian negara,” kata Herman.

Dr. Herman juga menegaskan bahwa penegakan hukum dalam kasus ini bukan hanya untuk memberi keadilan, tapi juga memberikan efek jera, serta mendorong perbaikan tata kelola proyek pemerintah agar tak kembali mengorbankan rakyat kecil.

Sumber : Dr Herman Hofi Munawr

Temuan BPK Guncang Muara Enim: Miliaran Rupiah Raib, IWO Indonesia Soroti Lemahnya Akuntabilitas

Muara Enim, 15 Juli 2025 – Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Sumatera Selatan telah membuka kotak pandora permasalahan serius dalam pengelolaan anggaran di Pemerintah Kabupaten Muara Enim. BPK menemukan adanya kekurangan volume pekerjaan dan kelebihan pembayaran pada sejumlah proyek fisik yang berpotensi merugikan negara hingga miliaran rupiah. Temuan ini tidak hanya memicu pertanyaan besar tentang efektivitas pengawasan internal, tetapi juga mendapat sorotan tajam dari organisasi pers, yang mempertanyakan komitmen pemerintah daerah terhadap transparansi dan akuntabilitas.

LHP BPK mengungkap total potensi kerugian negara mencapai Rp10.344.405.790,20 akibat kekurangan volume pekerjaan, serta kelebihan pembayaran sebesar Rp7.489.827.317,98. Angka yang mencengangkan ini bukan sekadar deretan digit, melainkan cerminan nyata dari kelemahan sistemik dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan proyek-proyek pembangunan daerah. Selain kekurangan volume, BPK juga menemukan adanya penerimaan hasil pekerjaan jalan dengan tebal kurang dari toleransi yang seharusnya, mengindikasikan kualitas pekerjaan yang patut dipertanyakan.

Secara rinci, kelebihan pembayaran yang harus dikembalikan mencakup beberapa instansi vital, dengan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) menempati porsi terbesar. Dinas PUPR tercatat memiliki kelebihan pembayaran sebesar Rp6.660.676.241,04, yang melibatkan sejumlah kontraktor seperti CV BPr (Rp164.215.094,13), CV BSe (Rp306.606.024,84), dan CV CBN (Rp40.474.290,07).

Menanggapi temuan tersebut, BPK telah merekomendasikan Bupati Muara Enim untuk mengambil langkah-langkah drastis:

* Meningkatkan Pengawasan: BPK meminta Kepala Dinas PUPR, Dispora, Dinkes, Disdag, Disparekraf, dan DPPPA untuk secara serius meningkatkan pengawasan pelaksanaan pekerjaan fisik. Namun, muncul pertanyaan kritis: mengapa pengawasan ini baru diperketat setelah adanya temuan BPK yang merugikan miliaran rupiah?

* Pemrosesan Pengembalian Kelebihan Pembayaran: BPK mendesak Dinas PUPR, Dispora, Dinkes, dan Disparekraf untuk segera memproses pengembalian kelebihan pembayaran sebesar Rp7.489.827.317,98 ke Kas Daerah, serta memperhitungkan potensi kelebihan pembayaran Rp2.779.955.622,90 dalam pembayaran prestasi pekerjaan selanjutnya.

Ali Sopyan, Wakil Ketua Umum Ikatan Wartawan Online (IWO) Indonesia, tak tinggal diam menyikapi temuan ini. Ia menyoroti serius indikasi lemahnya pengawasan dan akuntabilitas di Pemkab Muara Enim.

“Temuan BPK ini adalah alarm keras bagi Pemerintah Kabupaten Muara Enim. Angka miliaran rupiah yang terindikasi merugikan negara ini menunjukkan ada lubang besar dalam sistem pengawasan dan tata kelola anggaran,” tegas Ali Sopyan. “Kami dari IWO Indonesia mendesak Pemkab Muara Enim untuk tidak hanya berkomitmen di atas kertas, tetapi juga membuktikan dengan tindakan nyata, transparan, dan akuntabel dalam menindaklanjuti rekomendasi BPK. Publik berhak tahu bagaimana uang rakyat dikelola dan dipertanggungjawabkan.”

Ali Sopyan juga menambahkan, “Janji untuk menuntaskan rekomendasi dalam waktu 60 hari harus dibuktikan dengan pengembalian dana secara penuh dan perbaikan sistem yang fundamental, bukan hanya respons reaktif sesaat.”

Temuan BPK dan sorotan dari IWO Indonesia ini menegaskan urgensi bagi Pemerintah Kabupaten Muara Enim untuk secara fundamental memperbaiki tata kelola keuangan dan pembangunan. Potensi kerugian miliaran rupiah ini bukan hanya sekadar angka, melainkan cerminan dari dampak langsung terhadap kesejahteraan rakyat dan pembangunan daerah. Kegagalan dalam menindaklanjuti rekomendasi BPK secara serius dapat merusak kepercayaan publik dan menghambat kemajuan Muara Enim yang berkelanjutan. Masyarakat dan media akan terus mengawal proses ini demi terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab.

Publisher -Red

Proyek Penanggulangan Banjir Rp980 Juta di PALI Diduga Mangkrak dan Amburadul, Publik Serukan Audit APH!

PALI – SUMSEL – Dugaan praktik amburadul dan mangkraknya proyek penanggulangan banjir senilai hampir Rp1 miliar di Gang Pelita, Kelurahan Talang Ubi Timur, Kabupaten PALI, memicu sorotan tajam dari masyarakat.

Tim Investigasi yang turun ke lapangan pada Selasa (15/7/2025) menemukan indikasi kuat bahwa proyek vital ini jauh dari kata selesai dan bahkan menunjukkan kualitas pengerjaan yang dipertanyakan.

Proyek yang berada di bawah Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) PALI ini dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025, dengan nilai kontrak fantastis mencapai Rp980.229.000. CV. Romessa Jaya ditunjuk sebagai pelaksana untuk paket pekerjaan “Penanggulangan Banjir Talang Ubi Timur,” bagian dari program Pengelolaan dan Pengembangan Sistem Drainase yang Terhubung Langsung dengan Sungai dalam Daerah.

Namun, di lokasi proyek, tim investigasi menemukan sejumlah kejanggalan serius. Pondasi bangunan diduga tidak kokoh karena susunan batu kali yang tidak berimbang, terkesan asal-asalan. Lebih parah lagi, campuran adukan semen dan pasir diduga tidak sesuai standar teknis, dengan porsi pasir yang dominan, berpotensi menurunkan kualitas dan daya tahan bangunan secara drastis.
Yang paling mencolok, papan informasi proyek lenyap dari lokasi, dan tidak ada aktivitas pekerja.

Kondisi ini menimbulkan spekulasi kuat bahwa proyek telah ditinggalkan alias mangkrak, padahal belum rampung sepenuhnya.

Menanggapi carut-marut ini,aktivis pemerhati pembangunan Kabupaten PALI, Aldi Taher, tak tinggal diam. Ia melayangkan kritik keras kepada semua pihak terkait, baik pengguna anggaran maupun pihak kontraktor pelaksana.

“Proyek ini menelan dana rakyat hampir satu miliar rupiah, tapi kualitas pekerjaannya justru meragukan. Ini harus segera diaudit dan ditindaklanjuti secepat mungkin!” tegas Aldi pada (15/7).

Ketidakhadiran papan proyek di lokasi bukan hanya melanggar prinsip transparansi publik, tetapi juga memunculkan tanda tanya besar soal pengawasan Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Kabupaten PALI selaku penanggung jawab kegiatan.

“Proyek di Kabupaten PALI seperti ini sepertinya sudah tidak lumrah lagi. Lihat di beberapa platform media, sudah banyak yang mengkritisi kinerja pengawasan dan pengerjaan proyek, khususnya di Kabupaten PALI,” ujar Aldi,menyoroti pola masalah serupa yang berulang.
Lebih lanjut, Aldi menyatakan,

“Dengan kondisi seperti ini,harapan kami kini hanya tertuju pada aparat penegak hukum (APH) dan lembaga audit untuk segera turun tangan. Jika dibiarkan, proyek ini bisa menjadi preseden buruk dalam pengelolaan dana publik ke depan. Kepercayaan kami terhadap PPK dan PPTK dari dinas terkait? Sudah pupus. Habis. Tak ada lagi alasan untuk diam.”

Hingga berita ini diterbitkan, pihak Dinas PUTR dan kontraktor belum memberikan konfirmasi.

Red”

SMPN 03 Tambun Selatan Alergi Konfirmasi Wartawan, Kepala Sekolah Lari Terbirit-birit Usai Rapat

BEKASI, – Disinyalir Kepala Sekolah SMPN 03 Tambun Selatan, Kusrini Rahayu alergi bin gatal-gatal terhadap wartawan. Pasalnya saat ingin di konfirmasi terkait penerimaan siswa yang diduga adanya permainan kotor dalam proses penerimaan siswa-siswi baru tersebut, Kepala Sekolah seolah berupaya menghindar dari kejaran wartawan dengan alasan yang tidak jelas, pada Senin (14/07/2025) pagi.

Hal tersebut diutarakan oleh Tim Investigasi Wartawan-wartawati Media Online dan Cetak beserta Lembaga Investigasi Negara (LIN).

“Berawal dari temuan kami berdasarkan laporan masyarakat terkait penerimaan siswa di SMPN 03 Tambun Selatan yang kami duga sarat akan permainan kotor,” ujar Rentadiarina Simanjuntak, wartawati Jerat Hukum News.

Lanjutnya,” Kami datang ke sekolah tersebut untuk mengkonfirmasi hal itu, dan bertemu Kepala Sekolah saat ingin melakukan rapat dan diminta para guru di ruangan itu untuk menunggu. Satu jam lebih kami menunggu di pos Satpam lalu kami kembali ke ruang rapat, namun sayangnya yang didapati kami kegiatan rapat sudah selesai dan Kepala Sekolah Sudah tidak ada lagi di ruangan itu alias menghilang,” beber Simanjuntak.

“Kami menanyakan kepada guru-guru yang ada di ruangan itu, namun anehnya mereka menjawab seperti bermain “Ping-pong” serta para guru tersebut pandai bermain kata-kata dengan saling lempar ucapan seperti Pemain “Bola Voli” lempar bola kesana-sini tidak jelas.Jadi terkesan “Belaga Pilon”,” tandasnya.

“Bahkan kami di paksa keluar ruangan tanpa alasan yang jelas dengan menutup pintu kayu di sertai menutup pintu jeruji besi yang terkesan ada hal yang disembunyikan didalam ruangan tersebut dan bukan hanya kami sebagai wartawati dan Lembaga saja yang terusir namun ada dua orang tua murid yang di perlakukan sama dengan kami,” ungkapnya dengan rona wajah merah padam.

Dalam situasi guru menutup pintu besi dan kayu sempat terjadi bersitegang antara guru sekolah dan wartawati bersama Lembaga termasuk dua orang tua murid yang merasa tidak di hargai sebagai tamu.

“Kami kesini bukan mau minta duit, kalian baru menjadi guru di gaji Pemerintah saja sudah pada belagu, tidak ada etika dan itikad baik dalam menerima tamu, dasar guru gak punya etika!,” tukas Rentadiarina dengan penuh emosi.

Lanjutnya, ” Mana Kepala Sekolah SMPN 03, Kusrini Rahayu kabur dari ruang rapat dan lari terbirit-birit lagi, ditambah para guru pada “Planga-plongo” semua di ruangan itu, kalau gurunya seperti ini mau di kemanakan dunia Pendidikan di Kabupaten Bekasi,” tandas Rentadiarina lagi namun kali ini dengan nada tinggi setengah berteriak.

Sementara kedua orang tua murid bertanya kepada Ibu guru yang menutup pintu kayu dan besi tersebut, “Kenapa ditutup ada apa bu,” tanya G Orang Tua Murid, namun pertanyaan tidak di respon guru tersebut seraya menutup pintu dengan wajah ketus, sontak wartawati menegur sang Ibu guru suasana semakin memanas, keduanya bersitegang dan terjadi cekcok. Sang guru menatap nanar pada wartawati dan kedua Orang Tua Murid. “Keluar-keluar,” kata sang Ibu guru dengan ketus, “Lho guru kok seperti itu kelakuannya,” ujar Y menimpali.”Seperti orang tidak berpendidikan,” sambungnya menggerutu.Pintu kayu dan besipun ditutup rapat dan di kunci oleh sang Ibu guru tersebut.

Sedangkan dari Anggota Lembaga Investigasi Negara (LIN) menegaskan.

“Para guru SMPN 03 Tambun Selatan sangat tidak beretika sekali, bukannya meminta maaf tapi malah pintu di kunci rapat-rapat pintu kayu dan besinya, ada apa dengan para guru ini. Kalau seperti ini kelakuannya, bagaimana mau menjadi guru tauladan bagi murid-murid yang Sekolah disini,” tegas D.S

“Hal ini memperjelas dugaan kami bahwa Kepala Sekolah telah bersekongkol dengan para gurunya melakukan permainan kotor dalam penerimaan siswa di sekolah tersebut,” pungkasnya.

Diketahui bahwa, Guru teladan adalah seorang pendidik yang menjadi contoh baik bagi murid-muridnya, baik dalam sikap, perilaku, maupun dalam menyampaikan ilmu.

Guru teladan berperilaku baik, memiliki integritas, dan mampu menjadi contoh positif sehingga dapat menjadi panutan.

Guru teladan memiliki ketrampilan berkomunikasi dengan baik sehingga mampu berkomunikasi dengan jelas, efektif, dan penuh perhatian.

(B.D)

Penegakan Hukum OJK Dipertanyakan: Debitur Dipaksa Masuk dalam Pasal Internal Bank

Pontianak, Kalimantan Barat – 15 Juli 2025

Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap salah satu debitur di Kalimantan Barat menuai sorotan tajam dari kalangan praktisi hukum. Dalam konferensi pers yang digelar Selasa, 15 Juli 2025, praktisi hukum Sobirin, SH, menegaskan bahwa pasal-pasal yang dipersangkakan terhadap debitur tidak tepat sasaran dan tidak sesuai dengan konstruksi hukum dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK).

Debitur bukanlah subjek hukum yang dimaksud dalam pasal-pasal tersebut. Yang dimaksud sebagai subjek hukum dalam ketentuan pidana ini adalah pihak internal lembaga jasa keuangan seperti direksi, komisaris, atau pejabat setingkat. Bukan pihak luar seperti debitur,” tegas Sobirin, SH.

Sobirin membeberkan rincian tiga pasal yang digunakan dalam proses hukum terhadap debitur, yang justru menurutnya keliru secara substantif:

1. Pasal 49 ayat (2) (dalam Pasal 14 angka 54 UU No. 4 Tahun 2023

Kausalitas: Harus ada hubungan langsung antara perbuatan dan kerugian “Pasal ini jelas mengatur pejabat internal, bukan nasabah atau debitur,” ungkap Sobirin.

2. Pasal 49 ayat (3) huruf a (dalam Pasal 14 angka 54 UU No. 4 Tahun 2023)

Akibat: Potensi kerugian atau gangguan stabilitas “Tidak ada satu pun klausul yang memungkinkan penafsiran pasal ini dikenakan kepada debitur,” tegasnya.

3. Pasal 37E ayat (1) huruf a (dalam Pasal 14 angka 35 UU No. 4 Tahun 2023)

Akibat: Risiko terhadap kinerja dan kelangsungan usaha bank “Ini bagian dari uji kelayakan dan kepatutan internal, bukan wilayah hukum pidana untuk nasabah,” jelasnya.

Sobirin menilai penggunaan pasal-pasal tersebut terhadap debitur sebagai bentuk over-enforcement yang berpotensi menjadi kriminalisasi. Ia menyebut bahwa ketidaktepatan dalam menetapkan subjek hukum bisa menjadi preseden buruk dalam perlindungan hukum terhadap warga negara yang berstatus debitur.

Ini bukan hanya salah pasal. Ini adalah pelanggaran serius terhadap asas legalitas dan hak asasi manusia. Kita tidak bisa membiarkan hukum dijalankan secara sewenang-wenang hanya karena tekanan atau kepentingan tertentu,” pungkasnya.

Pernyataan ini mendorong desakan dari berbagai pihak agar dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan dan kinerja OJK, khususnya di wilayah Kalimantan Barat. Penegakan hukum terhadap sektor keuangan harus didasarkan pada prosedur yang benar, subjek hukum yang sah, serta asas kehati-hatian hukum.

Jika ini dibiarkan, maka kredibilitas OJK dan sistem perbankan nasional akan dirusak dari dalam,” tutup Sobirin.

Sumber : Sobirin.,SH
Jn//98

Kejaksaan RI dan Dewan Pers Tandatangani Nota Kesepahaman Terkait Penegakan Hukum dan Kemerdekaan Pers

Kejaksaan Republik Indonesia dan Dewan Pers melaksanakan menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) pada Selasa 15 Juli 2025, tentang “Koordinasi Dalam Mendukung Penegakan Hukum, Perlindungan Kemerdekaan Pers, Peningkatan Kesadaran Hukum Masyarakat, serta Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia”.
Penandatanganan MoU ini merupakan komitmen bersama antara Kejaksaan RI dan Dewan Pers dalam mewujudkan kemerdekaan pers, keterbukaan, dan kolaborasi untuk mendukung penegakan hukum di Indonesia.
Jaksa Agung Republik Indonesia ST Burhanuddin dalam sambutannya menyampaikan bahwa sebagai lembaga pemerintah yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dan menjalankan kewenangan negara di bidang penuntutan, Kejaksaan tidak dapat bekerja secara solitaire atau menutup diri dari dunia luar.
Jaksa Agung menekankan tentang pentingnya evaluasi diri untuk mengetahui kekurangan dan aspek yang perlu diperbaiki, salah satunya melalui kontrol sosial dari masyarakat yang dapat dijalankan melalui fungsi pers.
“Pers, sebagai lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik, menjadi jembatan yang menghubungkan antara Kejaksaan dengan masyarakat,” ujar Jaksa Agung.
Diharapkan, jembatan penghubung ini akan menciptakan lalu lintas komunikasi dua arah yang lebih cair, hangat, dan mampu mewujudkan dialog konstruktif untuk perbaikan dan dukungan bersama dalam pelaksanaan tugas dan fungsi.
Kerja sama ini, lanjut Jaksa Agung, akan memungkinkan Dewan Pers dan Kejaksaan untuk saling mengisi dan bersinergi demi kemajuan penegakan hukum serta kemerdekaan pers di Indonesia.
Jaksa Agung juga meyakini bahwa hubungan antara Dewan Pers dan Kejaksaan akan semakin erat, memberikan dampak positif dan konstruktif, serta memacu untuk selalu bekerja lebih baik dan peka terhadap isu-isu yang menjadi perhatian bersama.
Acara penandatanganan MoU ini dihadiri oleh Ketua Dewan Pers Komarudin Hidayat, Plt. Wakil Jaksa Agung Asep N. Mulyana, Wakil Ketua Dewan Pers Totok Suryanto, Jaksa Agung Muda Intelijen Reda Manthovani, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Febrie Adriansyah, Jaksa Agung Muda Pidana Militer Mayjen TNI M. Ali Ridho dan Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Ketua Komisi Kemitraan, Hubungan Antar Lembaga dan Infrastruktur Dewan Pers Rosarita Niken Widyastuti, Pejabat Eselon II di Kejaksaan Agung, Para Tenaga Ahli, Ketua Tim beserta jajaran pada Dewan Pers.

Jakarta, 15 Juli 2025
KEPALA PUSAT PENERANGAN HUKUM

Red”Dr. HARLI SIREGAR, S.H., M.Hum.