Jakarta, 10 Juni 2025 – Dr. Manotar Tampubolon, S.H., M.A., M.H., selaku kuasa hukum dari Poltak Bernanrd Sihombing, resmi melaporkan dua perwira Polri, Kompol Dedi Iskandar dan Bripka Putu Suherman, ke Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (MABES POLRI). Pelaporan tersebut tercatat dengan nomor SPSP2/002567/VI/2025/BAGYANDUAN dan menyoroti sejumlah dugaan pelanggaran serius, termasuk tidak profesional, tidak transparan dalam penanganan perkara, pengiriman surat ke alamat yang salah, serta penghentian perkara tanpa meminta bukti-bukti lengkap dari korban.
Menurut dokumen laporan yang diterima media, klien Dr. Manotar Tampubolon, Poltak Bernard Sihombing, sebelumnya telah mengajukan pengaduan resmi terkait suatu kasus yang ditangani oleh Kompol Dedi Iskandar dan Bripka Putu Suherman. Namun, dalam proses penanganannya, terdapat sejumlah indikasi pelanggaran kode etik kepolisian dan prosedur hukum.
Beberapa poin utama dalam laporan tersebut meliputi:
1. Ketidakprofesionalan dalam Penanganan Perkara– Kedua oknum polisi tersebut diduga tidak mengikuti standar investigasi yang semestinya, termasuk **tidak memeriksa saksi secara memadai dan mengabaikan bukti-bukti kunci** yang diajukan oleh korban.
2. Ketidaktransparanan Proses Hukum– Poltak Bernanrd Sihombing menyatakan bahwa dirinya tidak pernah mendapatkan informasi yang jelas mengenai perkembangan kasus, bahkan ketika perkara tersebut tiba-tiba dihentikan (SP3) tanpa pemberitahuan resmi.
3. Pengiriman Surat ke Alamat yang Salah– Terdapat indikasi bahwa beberapa pemberkasan dan surat resmi terkait kasus ini dikirim ke alamat yang tidak sesuai, sehingga menghambat proses hukum.
4. Penghentian Perkara Tanpa Dasar yang Jelas– Perkara tersebut dihentikan tanpa mempertimbangkan seluruh bukti yang adA, bahkan sebelum seluruh fakta terungkap.
Respon Kuasa Hukum: Tuntutan Investigasi Mendalam
Dr. Manotar Tampubolon, dalam konferensi persnya, menegaskan bahwa laporan ini bukan sekadar masalah administratif, melainkan pelanggaran serius yang berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.
Klien kami telah mengalami ketidakadilan dalam proses hukum ini. Ada indikasi kuat bahwa oknum yang bersangkutan tidak bekerja sesuai prosedur, bahkan cenderung melakukan pembiaran atau upaya menutupi fakta. Kami mendesak Propam dan Divisi Profesi dan Pengamanan Polri untuk melakukan investigasi yang transparan dan independen, tegas Tampubolon.
Ia juga menyatakan bahwa pihaknya telah mengumpulkan bukti-bukti pendukung, termasuk dokumen komunikasi, rekaman interaksi, dan saksi-saksi yang dapat memperkuat laporan ini.
Dampak terhadap Kepercayaan Publik
Kasus ini kembali memantik pertanyaan mengenai akuntabilitas dan transparansi penegakan hukum di Indonesia. Beberapa pengamat hukum menyatakan bahwa praktik penghentian perkara tanpa alasan yang jelas (SP3 sepihak) masih menjadi masalah serius di tubuh kepolisian.
Ini bukan kasus pertama di mana masyarakat merasa diperlakukan tidak adil dalam proses hukum. Jika Polri ingin membangun kepercayaan, maka setiap laporan seperti ini harus ditindaklanjuti dengan serius dan transparan, kata Dr. Tampubolon.
Apa Langkah Selanjutnya?
Berdasarkan informasi terakhir, Propam Polri sudah menerima laporan korban melalui kuasa hukumnya di YANDUAN PROPAM POLRI. Kuasa hukum korban menyatakan kesiapannya untuk membawa kasus ini ke Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) atau bahkan ke Ombudsman RI jika tidak ada tindakan serius dari internal Polri.
Kasus ini menjadi ujian bagi Polri dalam menjaga integritas dan profesionalisme institusi. Masyarakat menunggu tindakan tegas terhadap oknum yang terbukti bersalah, sekaligus harapan agar proses hukum berjalan adil tanpa intervensi.
Kami percaya bahwa hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Jika ada yang salah, maka harus diperbaiki. Tidak boleh ada ruang bagi ketidakadilan dalam penegakan hukum di Indonesia, pungkas Dr. Manotar Tampubolon.
D.S