Beranda blog Halaman 13

Skandal Etik H. Triyono Makin Panas, BKD Klaten Dinilai Lamban — Ombudsman RI: Penonaktifan Triyono Harus Segera Dilakukan!

Klaten — Kasus dugaan pelanggaran etik yang menyeret nama H. Triyono, anggota DPRD Klaten dari Fraksi Golkar sekaligus anggota Badan Kehormatan DPRD Klaten (BKD), kini semakin memicu gelombang kecaman publik. Pasalnya, hingga awal Juni 2025, BKD Klaten dinilai “bermain lambat” dalam memproses laporan yang sudah mendapatkan perhatian serius dari Ombudsman RI.

Dalam pertemuan daring (Zoom Meeting) yang digelar Rabu, 14 Mei 2025, pelapor Gatot Handoko memaparkan perkembangan aduannya kepada perwakilan Ombudsman RI, yang dihadiri oleh Sdr. Imam dari Ombudsman Perwakilan Jawa Tengah. Ombudsman menegaskan komitmen penuh untuk mengawal kasus ini hingga tuntas, bahkan menyarankan agar H. Triyono dinonaktifkan sementara dari BKD demi menjamin objektivitas dan integritas proses pemeriksaan.

Namun faktanya, hingga kini BKD Klaten belum menunjukkan itikad nyata dalam menindaklanjuti rekomendasi tersebut. Bahkan pemanggilan saksi-saksi yang diajukan oleh pelapor pun belum dilakukan, sebuah langkah awal yang mestinya menjadi prioritas bila DPRD Klaten serius dalam menjaga marwah lembaga.

Lebih memprihatinkan lagi, Sidang BKD secara formal pun belum pernah digelar, meskipun pada Selasa, 20 Mei 2025, Ketua BKD Ruslan Rosidi (F-PKB) dan anggota BKD Budi Raharja (F-PKS) sudah diundang dan hadir dalam pertemuan langsung di kantor Ombudsman Jateng.

> “Kami minta Ombudsman bisa terus mendorong agar proses ini tidak mandek. Jangan sampai masyarakat menilai bahwa BKD Klaten hanya jadi ‘tameng’ untuk melindungi oknum anggota DPRD yang bermasalah,” ujar Gatot Handoko usai pertemuan.

Di sisi lain, ketidaktegasan BKD Klaten juga menimbulkan pertanyaan besar tentang integritas para pimpinan DPRD Klaten. Mengapa rekomendasi Ombudsman untuk penonaktifan H. Triyono justru diabaikan? Apakah ada kekuatan politik di balik layar yang mencoba melindungi sang teradu?

Publik kini semakin geram. Di media sosial, gelombang kritik terhadap DPRD Klaten makin deras. Banyak warga Klaten yang menuntut agar DPRD tidak bermain-main dengan kasus etik yang berpotensi mencoreng nama baik lembaga legislatif.

> “Kalau BKD tidak sanggup menegakkan etika, bubarkan saja BKD itu. Jangan bikin malu rakyat Klaten,” kecam salah satu netizen di platform Facebook.

Ombudsman RI sendiri dengan tegas meminta agar seluruh proses prosedural dipenuhi sebelum keputusan resmi dikeluarkan oleh DPRD Klaten. Ini termasuk memastikan saksi-saksi pelapor diperiksa secara objektif dan terbuka.

Namun sampai saat ini, semua itu masih jadi harapan kosong. Masyarakat kini menunggu apakah DPRD Klaten benar-benar berani membersihkan lembaganya dari praktik-praktik tidak etis, atau justru menjadi bagian dari pembiaran skandal ini.

Jika dalam waktu dekat BKD Klaten tetap tak bergerak, tak menutup kemungkinan Ombudsman RI akan melangkah lebih jauh dengan menerbitkan rekomendasi tegas yang mengikat. Saat itulah wajah asli DPRD Klaten akan diuji di hadapan publik.

Red”jn

PPWI Minta Mahkamah Agung Tertibkan Larangan Pengambilan Foto dan Video di PN Sorong

Sorong — Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (Ketum PPWI), Wilson Lalengke, mewakili seluruh anggota PPWI se-Indonesia meminta Mahkamah Agung Republik Indonesia segera meninjau ulang kebijakan Pengadilan Negeri (PN) Sorong yang memasang papan larangan pengambilan foto dan video di ruang sidang maupun lingkungan pengadilan. Menurutnya, kebijakan tersebut bertentangan dengan Pasal 4 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Wilson Lalengke menegaskan bahwa larangan ini membatasi kebebasan pers nasional dan merugikan masyarakat yang berhak memperoleh informasi secara transparan. “Pers nasional tidak boleh dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Keterbukaan informasi dalam proses hukum adalah fondasi penting bagi peradilan yang benar, adil, dan akuntabel,” ujar alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu dalam keterangan tertulisnya, Kamis (5/6/2024).

Wilson Lalengke juga mengingatkan bahwa lembaga peradilan harus menjadi contoh tertinggi dalam menegakkan hukum dan keterbukaan. “Sangat aneh, lembaga penegak hukum dibiarkan melanggar hukum. Kami berharap Mahkamah Agung segera menertibkan kebijakan konyol PN Sorong ini agar kepercayaan publik terhadap sistem peradilan tetap terjaga,” imbuhnya sambil menambahkan bahwa mengumpulkan informasi, termasuk mengambil gambar, foto, video dan bentuk rekaman lainnya, merupakan hak setiap warga negara sebagaimana termaktub pada Pasal 28F UUD 1945.

Lebih lanjut Wilson Lalengke mengingatkan bahwa lembaga peradilan dan personil aparat hukum di dalamnya dibiayai oleh rakyat. “Rakyat tanpa kecuali bergotong-royong mengumpulkan uang untuk membiayai operasional pengadilan, membayar gaji para hakim dan pegawai di lembaga ini, yang oleh karena itu mereka berhak mendapatkan informasi faktual lapangan yang benar, akurat, dan lengkap; pengadilan wajib memenuhi hak masyarakat tersebut,” jelas lulusan pasca sarjana bidang Global Ethics dan Applied Ethics dari tiga universitas ternama di Eropa itu menutup pernyataannya. (JML/Red)

PT. Toba Pulp Lestari (TPL) Layak Ditutup: Desakan Masyarakat Toba, Pernyataan Tegas Ephorus HKBP, dan Pandangan Dr. Manotar Tampubolon

Di tengah keindahan Danau Toba yang diakui sebagai warisan dunia, ketegangan antara masyarakat adat dan PT Toba Pulp Lestari (TPL) semakin meningkat. Seruan untuk menutup perusahaan ini semakin kuat, didorong oleh kerusakan lingkungan, konflik agraria, dan tindakan kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang berjuang mempertahankan hak atas tanah ulayat mereka.

Ephorus Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Pendeta Dr. Victor Tinambunan, dengan tegas menolak keberadaan PT TPL. Bersama 6,5 juta jemaat HKBP, ia menegaskan bahwa perusahaan ini telah membawa bencana ekologis dan krisis sosial di kawasan Danau Toba. Deforestasi, hilangnya lahan pertanian yang subur, kerusakan keanekaragaman hayati, serta meningkatnya risiko banjir dan longsor adalah beberapa dampak nyata dari kehadiran TPL di daerah ini.

Salah satu insiden yang menarik perhatian publik adalah penangkapan Sorbatua Siallagan, Ketua Masyarakat Adat Oppu Umbak Siallagan. Penangkapan ini dianggap sebagai bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang berjuang untuk tanah warisan nenek moyang mereka. Di tempat lain, konflik serupa juga terjadi di Nagasaribu, Desa Pohan Jae, Siborongborong, di mana PT TPL dituduh menghalangi akses warga ke hutan kemenyan yang menjadi sumber penghidupan mereka (mongabay.co.id).

Operasi PT TPL juga dituduh sebagai penyebab utama kerusakan ekosistem hutan. Laporan menunjukkan bahwa perusahaan ini menggunakan metode tebang habis (clear cutting) dalam konsesi mereka, tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekologi, yang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat di sekitarnya.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, bersama beberapa LSM dan tokoh agama, mendesak pemerintah untuk mencabut izin operasional PT TPL. Mereka menyoroti penculikan lima anggota masyarakat adat Sihaporas oleh pihak-pihak yang diduga berhubungan dengan TPL sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang perlu diselidiki dengan serius (hutanhujan.org).

Dr. Manotar Tampubolon, putra Toba aktivis hak asasi manusia, menegaskan bahwa pemerintah harus segera melakukan audit menyeluruh terhadap semua aktivitas PT TPL. Jika terbukti merusak lingkungan dan melanggar hak-hak masyarakat adat, maka secara moral dan hukum, perusahaan ini harus ditutup. Ia menekankan bahwa keadilan ekologis dan sosial tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan korporasi.

Sementara itu, PT TPL mengklaim telah menjalin komunikasi yang baik dengan masyarakat dan melaksanakan program kemitraan. Namun, klaim ini ditolak oleh masyarakat adat dan organisasi pendamping, yang menyatakan bahwa perusahaan tetap bersikap eksploitatif dan tidak transparan dalam pelaksanaan program CSR-nya (mongabay.co.id).

Seruan untuk menutup PT TPL juga mendapatkan dukungan dari tokoh nasional asal Tano Batak, termasuk Jenderal (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Maruarar Sirait. Keduanya menekankan pentingnya menjaga kelestarian alam Danau Toba dan mendorong pembangunan yang berfokus pada pertanian dan pariwisata berkelanjutan sebagai masa depan kawasan tersebut.

Dukungan dari berbagai elemen—seperti agama, masyarakat adat, akademisi, dan tokoh nasional—telah mendorong pemerintah untuk mengambil tindakan tegas. Kini, pemerintah diharapkan segera mencabut izin PT TPL, mengembalikan tanah adat kepada pemilik yang sah, dan mereformasi sistem pengelolaan industri kehutanan agar lebih ramah lingkungan dan adil bagi masyarakat lokal.

Menutup PT TPL bukan hanya soal bisnis. Ini adalah momen penting dalam perjuangan untuk hak-hak masyarakat adat, pelestarian lingkungan, dan keadilan bagi generasi mendatang di Tanah Batak.

Red”

Diduga Membentak dan Bawa-bawa Suku, Hakim PN Purwodadi Dilaporkan ke Komisi Yudisial

Purwodadi, Jawa Tengah — Dunia peradilan kembali tercoreng. Bayu Anggara, salah satu saksi dalam perkara nomor Print-1042/M.3.41/Eoh.1/03/2025, mengaku mengalami perlakuan tak pantas dari seorang hakim di Pengadilan Negeri (PN) Grobogan. Tidak hanya dibentak di ruang sidang, Bayu bahkan menyebut hakim tersebut membawa-bawa isu suku yang membuat suasana persidangan ricuh dan menciptakan tekanan psikis yang berat bagi dirinya.

Menurut Bayu, apa yang dilakukan sang hakim jelas melanggar etika serta prinsip dasar seorang penegak hukum. “Saya sebagai saksi merasa sangat terintimidasi. Hakim tidak seharusnya membentak atau bahkan membawa-bawa suku dalam persidangan. Ini bukan hanya pelanggaran kode etik, tapi juga penghinaan terhadap prinsip keadilan,” ujar Bayu usai persidangan.

Melanggar Kode Etik Hakim

Sebagaimana diketahui, hakim terikat oleh Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang mengatur sikap dan perilaku mereka dalam persidangan. Di antaranya:

Larangan membentak saksi. Hakim wajib menjaga suasana sidang yang tertib, tanpa tekanan verbal.

Bersikap adil dan netral. Hakim dilarang menunjukkan keberpihakan atau sikap memojokkan terhadap salah satu pihak, termasuk saksi.

Menghindari kesan mengancam. Setiap tindakan atau ucapan yang dapat menimbulkan rasa takut atau intimidasi dilarang keras.

Namun, dalam kasus ini, Bayu menegaskan bahwa hakim yang bersangkutan justru bertindak sebaliknya. “Saya merasa diperlakukan seolah-olah saya pesakitan, padahal saya hadir sebagai saksi. Bahkan hakim sempat melontarkan kata-kata yang membawa unsur suku, yang jelas sangat tidak pantas diucapkan di ruang sidang,” imbuhnya.

Dilaporkan ke Komisi Yudisial

Atas insiden ini, Bayu Anggara secara resmi akan melaporkan sang hakim ke Komisi Yudisial (KY). Ia berharap KY dapat memproses laporan ini secara serius. “Saya akan laporkan ini ke KY. Hakim yang tidak mampu menjaga integritas dan etika seharusnya diberikan sanksi tegas. Bahkan bila perlu, dijatuhi sanksi berat berupa pemberhentian tidak hormat,” tegas Bayu.

Kejadian ini pun menuai sorotan publik. Banyak pihak menilai bahwa perilaku semacam ini memperburuk citra peradilan di mata masyarakat. “Bagaimana keadilan bisa ditegakkan jika hakim sendiri memperlihatkan sikap arogan dan diskriminatif?” ujar salah satu pengamat hukum yang enggan disebutkan namanya.

Kini, masyarakat menunggu langkah tegas Komisi Yudisial dalam menangani laporan ini. Integritas peradilan harus dijaga, dan setiap pelanggaran etik oleh aparat pengadilan harus ditindak tanpa pandang bulu.

Red”Jn

Korban Jiwa Tambang Emas Ilegal di Singkawang: Pemerintah dan Penegak Hukum Harus Bertindak Tegas

Singkawang, Kalimantan Barat, 6 Juni 2025 —

Tragedi memilukan kembali terjadi akibat aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang masih marak di Kota Singkawang, Kalimantan Barat.

Seorang pekerja tambang emas ilegal tewas tertimbun longsor setinggi 20 hingga 30 meter di wilayah Air Mati, Desa Senggang Mayasopa, Kecamatan Singkawang Timur, pada Kamis, 5 Juni 2025 sekitar pukul 13.30 WIB.

Korban yang merupakan warga Senggang, Kelurahan Mayasopa, diduga tertimbun saat melakukan aktivitas di lokasi PETI milik seorang warga bernama Rustam. Berdasarkan laporan tim investigasi awak media yang turun ke lokasi, tebing tanah di lokasi penambangan longsor mendadak dan menelan korban yang tidak sempat menyelamatkan diri.

Tragedi ini menjadi bukti nyata betapa aktivitas tambang emas ilegal tak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengancam nyawa pekerja dan masyarakat sekitar. Kejadian serupa kerap terjadi di wilayah Kalimantan Barat, menunjukkan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum oleh pihak berwenang.

Aktivitas PETI jelas melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Berdasarkan: Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang menyebut:

Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin resmi (IUP, IPR, atau IUPK) diancam pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100 miliar.”

UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatur sanksi pidana bagi setiap orang yang melakukan perusakan lingkungan akibat aktivitas ilegal.

KUHP Pasal 359 tentang kelalaian yang menyebabkan orang lain meninggal dunia, yang dapat dikenakan terhadap pemilik PETI dan pihak-pihak yang terlibat.

Mengingat adanya korban jiwa, penegakan hukum atas aktivitas tambang ilegal ini bukan lagi sekadar penertiban administratif. Aparat Penegak Hukum (APH), baik Kepolisian maupun Kejaksaan, harus segera melakukan:

Penyelidikan menyeluruh atas kepemilikan PETI dan perizinannya.

Pemrosesan hukum bagi pemilik tambang dan pihak yang terbukti bertanggung jawab atas kelalaian dan aktivitas ilegal ini.

Penutupan dan penertiban lokasi tambang ilegal demi keselamatan dan perlindungan lingkungan.

Selain sanksi pidana, pemilik dan pelaku tambang ilegal harus bertanggung jawab penuh atas korban jiwa yang ditimbulkan. Hal ini sejalan dengan prinsip keadilan restoratif dan kewajiban ganti rugi sesuai hukum yang berlaku.

“Kami mendesak agar aktivitas PETI ini dihentikan sepenuhnya dan para pelaku segera ditindak sesuai hukum. Jangan sampai tambang ilegal ini justru menjadi ‘ternak peliharaan’ oleh oknum pemangku kebijakan atau aparat yang mestinya melindungi rakyat dan lingkungan,” tegas salah satu warga setempat.

Aktivitas PETI tidak hanya menimbulkan kerusakan lingkungan yang masif, tapi juga konflik horizontal di masyarakat dan korban jiwa yang terus berjatuhan. Pemerintah, APH, dan semua pihak harus menunjukkan komitmen nyata bahwa keselamatan rakyat dan kelestarian lingkungan lebih berharga daripada keuntungan segelintir orang.

Sumber Laporan : Tim Ivestigasi Mata Elang Dan Aktivis98

Ulah dari Kasat Intel; Kapolres Demak Harus Mampu Menertibkan Anggotanya

DEMAK – 06 Juni 2025
Baru-baru ini masyarakat Kabupaten Demak dihebohkan dengan viralnya sebuah kabar di media sosial dan media mainstream terkait tindakan Kasat Intel Polres Demak yang melaporkan seorang aktivis lokal ke ranah hukum. Kabar ini ramai diperbincangkan dan menyebar luas di platform seperti TikTok, Facebook, Instagram, hingga grup-grup WhatsApp.

Tindakan Kasat Intel tersebut menuai beragam tanggapan dari masyarakat. Tak sedikit warganet menyayangkan langkah tersebut, menilai sikap Kasat Intel berlebihan dan terkesan arogan serta anti terhadap kritik.

Ketua Umum DPP Investigasi, Nasaruddin AMF, turut angkat bicara. Ia menilai tindakan Kasat Intel bertentangan dengan semangat keterbukaan institusi Polri yang sebelumnya digaungkan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

“Ulah Kasat Intel ini bisa dikategorikan sebagai bentuk pembangkangan terhadap semangat reformasi di tubuh Polri. Kritik kepada institusi seharusnya disambut sebagai bentuk kepedulian, bukan malah dijadikan alasan untuk kriminalisasi,” ujar Nasaruddin pada 5 Juni 2025.

Ia menambahkan bahwa tindakan seperti ini dapat menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat untuk menyampaikan aspirasi atau kritik. Hal ini, menurutnya, bisa menjadi preseden buruk bagi citra dan kepercayaan publik terhadap Polri.

Nasaruddin juga mendesak Kapolres Demak, AKBP Ari Cahya Nugraha, untuk turun tangan menyelesaikan persoalan ini dengan pendekatan yang lebih bijaksana.

“Masih banyak cara yang lebih elegan daripada harus membawa masalah ke ranah hukum. Minimal bisa dilakukan tabayun, duduk bersama, agar tidak menimbulkan kegaduhan yang lebih luas,” lanjutnya.

Diketahui, kasus ini berawal dari laporan terhadap seorang aktivis dan jurnalis lokal, Eko Sugiarto (yang dikenal sebagai Eko HK), oleh Kasat Intel Polres Demak. Laporan tersebut dipicu oleh status WhatsApp Eko HK yang menyebut Kasat Intel sebagai “pengacau” dan “membikin gaduh”, dalam rangka mengomentari kebijakan penerbitan izin keramaian untuk Pasar Rakyat Jogoloyo. Status tersebut menurut Eko merupakan bentuk kritik terhadap kebijakan yang dinilainya menimbulkan dualisme kegiatan pasar dalam agenda Grebek Besar, dan memicu konflik di masyarakat.

Nasaruddin berharap pemberitaan yang semakin meluas ini segera mereda, dan menyerukan agar pimpinan Polres Demak mampu melakukan pembinaan internal secara tegas namun berkeadilan.

“Langkah yang diambil Kasat Intel sangat disayangkan. Ini adalah respons emosional yang mencerminkan sikap anti kritik. Kritik yang disampaikan aktivis tersebut kami nilai masih dalam batas wajar dan relevan dengan konteks kebijakan publik,” pungkas Nasaruddin.

Polemik ini terus menjadi sorotan dan menjadi bahan diskusi di berbagai platform digital maupun ruang publik lokal. Masyarakat berharap adanya penyelesaian yang adil dan bijaksana demi menjaga kondusivitas di Kabupaten Demak.

(TIM)

Wauuu,,?Kapolres Kampar Lempar Bola Panas: Dugaan Ilegalitas Tambang PT SJM Terkesan Diabaikan, “Harus Dilaporkan Dulu”?

KAMPAR-RIAU – Aroma busuk dugaan praktik jual beli tambang ilegal oleh PT Sahabat Jaya Manufaktur (PT SJM) kepada Koperasi Produsen Tuah Madani Sukaramai untuk penimbunan tangki minyak PT APG kian menyengat. Publik menunggu respons tegas, namun Kapolres Kampar AKBP Mihardi Mirwan justru terkesan melempar bola panas, meminta media untuk membuat laporan resmi. Ini adalah respons yang memprihatinkan, mengingat informasi dugaan pelanggaran hukum ini telah viral dan menjadi buah bibir di puluhan media. Apakah fungsi penegak hukum kini hanya menjadi “kantor penerima aduan” yang pasif, alih-alih proaktif memberantas kejahatan lingkungan dan ekonomi yang sudah di depan mata?

Kepala Desa Sukaramai, Sabaruddin, secara mencengangkan, telah mengakui bahwa Koperasi membeli tanah dari PT SJM seharga Rp 35.000 per kubik tanpa dokumen izin pengangkutan pertambangan. Pengakuan ini bukan sekadar bisik-bisik, melainkan pernyataan lugas dari figur yang terlibat langsung. Bagaimana mungkin praktik ini berlangsung terang-terangan tanpa tindakan serius dari aparat? Dalih Kades dan Sekdes yang menyebut lahan PT SJM bisa ditambang pihak lain secara bersamaan hanyalah upaya untuk melegitimasi praktik yang jelas-jelas cacat hukum. Ini adalah indikasi kuat adanya pembiaran sistematis yang berpotensi melibatkan banyak pihak.

Dampak dari praktik ilegal ini tidak hanya soal kerugian negara, tetapi juga kerusakan lingkungan. Penimbunan tangki minyak PT APG diduga kuat telah menutup serapan air sungai kecil, bukti nyata pengabaian terhadap kelestarian alam demi keuntungan sesaat. Sikap pasif dan terkesan ‘menunggu laporan’ dari Polres Kampar dalam menghadapi fakta-fakta ini menimbulkan pertanyaan fundamental: Ada apa di balik keengganan aparat untuk bertindak tegas? Apakah ada kepentingan tersembunyi yang membuat dugaan ilegalitas ini seolah “kebal hukum”? Integritas penegak hukum menjadi taruhan dalam kasus ini. Masyarakat berhak menuntut jawaban dan tindakan nyata, bukan sekadar imbauan untuk “melapor resmi” atas kejahatan yang sudah telanjang di muka umum.

Red”

Kejaksaan Agung Memeriksa 5 Orang Saksi Terkait Perkara Minyak Mentah PT Pertamina

Kamis 5 Juni 2025, Kejaksaan Agung melalui Tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM PIDSUS) memeriksa 5 (lima) orang saksi, terkait dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero), Sub Holding dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) tahun 2018 s.d. 2023, berinisial:

RDF selaku Specialist Hydcrocarbon Planning Optimalization (HPO) PT Kilang Pertamina Internasional (KPI).
BDT selaku Manager Crude & Products Logistic Operation PT KPI.
HB selaku VP Bisnis Planing & Portofolio Commercial & Trading.
AB selaku VP Crude & Product Trading & Commercial pada PT Pertamina (Persero) tahun 2018 s.d. 2019.
YP selaku Manager Commercial PT Pertamina (Persero) tahun 2018 s.d. 2019.

Adapun kelima orang saksi tersebut diperiksa terkait dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero), Sub Holding dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) tahun 2018 s.d. 2023 atas nama Tersangka YF dkk.

Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dimaksud.

Jakarta, 5 Juni 2025
KEPALA PUSAT PENERANGAN HUKUM

Red”Dr. HARLI SIREGAR, S.H., M.Hum.

Oknun Satpol PP dan Istri Anggota Polisi Terjerat Hubungan Terlarang

Madiun, Jawa Timur —
Dunia birokrasi kembali tercoreng dengan munculnya skandal memalukan yang melibatkan dua aparat negara. Seorang oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) berinisial H, yang bertugas di Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemerintah Kota Madiun, diduga kuat menjalin hubungan gelap dengan seorang wanita berinisial IY, yang tak lain adalah istri sah dari anggota Polsek Jiwan, Kabupaten Madiun, sekaligus seorang oknum Bhayangkari.

Tertangkap Basah dalam Pelukan Dosa

Dugaan skandal ini terungkap pada Jumat, 30 Mei 2025, saat tengah berduaan di sebuah kamar kos di Jalan Kenongo, Kartoharjo, Kota Madiun. Kejadian itu terjadi atas laporan warga yang curiga dengan aktivitas mencurigakan pasangan tersebut.

Sumber visual dan kesaksian warga menguatkan dugaan perzinahan ini. Ironisnya, baik H maupun IY diketahui masih memiliki pasangan sah. Fakta ini menambah bobot pelanggaran, tidak hanya dari sisi moral, namun juga berpotensi melanggar hukum pidana.

Dua Lapis Skandal: Pelanggaran Etika dan Pidana

Kasus ini tidak hanya mencoreng nama baik institusi Satpol PP dan Bhayangkari, tetapi juga mempermalukan etika pemerintahan dan hukum keluarga. Secara hukum, hubungan gelap ini berpotensi dijerat dengan Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang berbunyi:

> Pasal 284 KUHP: Barang siapa melakukan perzinahan, yakni jika salah satu atau keduanya masih terikat perkawinan dengan orang lain, dapat dikenai pidana penjara paling lama sembilan bulan.

Pasal ini dapat diberlakukan jika ada pengaduan resmi dari suami (IY) atau istri sah (H). Artinya, hukum dapat berjalan jika korban mengajukan laporan kepada pihak berwajib.

Desakan Masyarakat: Pecat, Proses, dan Penjarakan!

Masyarakat Kota Madiun menuntut tindakan tegas dan tidak pandang bulu. Desakan keras muncul agar:

H segera dinonaktifkan dari jabatannya oleh Pemerintah Kota Madiun, diperiksa oleh Inspektorat, dan diproses sesuai hukum yang berlaku.

IY sebagai oknum Bhayangkari harus mendapat sanksi tegas dari institusi Kepolisian, baik secara organisasi maupun pidana.

Pemerintah dan aparat penegak hukum tidak boleh melakukan pembiaran atau perlindungan terhadap pelaku.

Skandal ini menjadi cermin rusaknya moral sebagian oknum aparatur negara, yang menyalahgunakan jabatan dan status untuk memenuhi nafsu pribadi. Jika tidak segera ditindak, virus imoralitas ini akan menjalar, melemahkan sendi integritas pemerintahan.

Penutup: Negara Tak Boleh Kalah oleh Amoralitas

Tidak ada ruang kompromi bagi pelanggar etika dan hukum di tubuh birokrasi. ASN dan Bhayangkari adalah simbol kedisiplinan, bukan pelaku perzinahan. Hukum harus bicara! Pecat, adili, dan hukum sesuai dengan aturan yang berlaku!

Pemerintah Kota Madiun dan Kepolisian harus segera bersih-bersih! Jangan beri tempat bagi tikus-tikus busuk yang menggerogoti kehormatan negara.

Catatan Redaksi:
Kasus ini masih dalam proses klarifikasi dan penelusuran lebih lanjut. Kami menghormati asas praduga tak bersalah, namun mendesak keterbukaan dan ketegasan dari semua pihak agar kepercayaan publik tidak terkikis.

 

Red”

Korban Penipuan Rental Mobil, Mustolih, Desak Keadilan dan Sorot Lambatnya Penanganan Kasus

Cilacap, 5 Juni 2025 – Mustolih, warga
Cilacap, terus berjuang mendapatkan keadilan setelah menjadi korban penipuan rental mobil. Meskipun pelaku utama, Gus Mohamad Farus, telah ditangkap, Mustolih merasa belum ada kejelasan mengenai ganti rugi atas kerugian yang dialaminya. Ia bahkan sudah mengadu ke berbagai pihak, termasuk media, namun proses hukumnya masih berjalan lambat.

Kasus ini bermula ketika Mustolih merentalkan mobilnya kepada Gus Mohamad Farus, namun mobil tersebut tak kunjung kembali dan diduga kuat telah digadaikan. Mustolih segera melaporkan kejadian ini ke Polresta Cilacap, dengan bukti tanda pelaporan yang jelas sebagai dasar. Berkat laporan dan bukti-bukti yang kuat, seperti bukti surat kepemilikan kendaraan, pelaku berhasil diamankan.

“Saya sudah serahkan semua bukti yang diperlukan kepada pihak berwajib, termasuk lokasi unit mobil saya dan siapa yang saat ini menguasainya,” jelas Mustolih.

Yang mengejutkan, diduga unit mobil milik mustolih diketahui berada di tangan seorang anggota DPRD Kabupaten Purbalingga dari Partai Gerindra, yaitu Adi Yuono. Hal ini menambah kerumitan kasus dan menimbulkan banyak pertanyaan bagi Mustolih.

Mustolih juga sudah berkoordinasi dengan pihak kejaksaan, mengingat perkara ini sudah dilimpahkan ke sana. Namun, ia hanya diminta untuk menunggu jadwal sidang. Ia merasa sangat kecewa dengan proses yang lambat dan tanpa kepastian ini.

Beberapa awak media yang mencoba mengonfirmasi perkembangan kasus ini kepada pihak terkait, baik dari kepolisian maupun kejaksaan, belum mendapatkan jawaban atau tanggapan yang jelas. Hal ini semakin menimbulkan kekhawatiran Mustolih mengenai keseriusan penanganan kasusnya.

Mustolih sangat berharap agar aparat penegak hukum, baik Polresta Cilacap maupun Kejaksaan, dapat segera menindaklanjuti kasusnya dengan serius dan tidak tebang pilih. Ia menuntut agar kerugian yang dialaminya dapat segera dipulihkan dan ada kepastian hukum yang jelas.

“Saya mohon kepada aparat penegak hukum untuk serius menangani kasus saya. Jangan sampai ada kesan tebang pilih karena melibatkan pejabat publik. Saya hanya ingin keadilan,” tegas Mustolih.

Mustolih akan terus memantau perkembangan kasus ini dan berharap ada titik terang serta penyelesaian yang adil dalam waktu dekat.
Red.